-->

Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara

Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara !! Semoga tulisan singkat dengan kategori 2018 !! air mata !! Sejarah !! Sejarah Sunda !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->


[Historiana]Polemik Mengenai Haji Purwa Galuh/Syeh Baharudin Al-Jawi Versi Curebon I. Jika Haji Purwa Galuh adalah Raden Bratalegawa Putra Prabu Bunisora Versi Wangsakerta dan Sejarah yang sudah dikenal. Tulisan ini mengutipp dari Encum Nurhidayat.

Raden Bratalegawa Putra Prabu Bunisora 

Seperti yang telah di uraikan pada bagian terdahulu,Prabu guru pangadiparamantajayadewabrataatau sang Bunisora Yang bertahta di kerajaan sunda (1357 1371 Masehi) sebagai pengganti semantara setelah kakanya (Prabu wangi) gugur di Palagan Bubat, Dari Permaisuri memperoleh Putra diantaranya ialah: 
  1. Giridewanata atau ki Gedeng Kasmaya, menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang.
  2. Bratalegawa menjadi saudagar dan memiliki kapal layar niaga dan memeluk agama Islam 
  3. Banawati, menjadi Ratu di wilayah bawahan Galuh 
  4. Mayangsari, di peristri oleh sang maha prabu Niskala Wastu Kancana, Ibunda Prabu Dewa Niskala, neneknya Sri Baduga Maharaja. Sang Bratalagawa, putri ke dua sang Bunisora usianya lebih muda dari sang maha prabu Dewa Niskala Wastu Kancana.
Sang bratalegawa memilih hidup menjadi saudagar besar. ia memiliki kapal layar dagang, emas permata dan rumah peristirahatan di lereng gunung maupun di tepi pantai. Sang Bratalagawa sudah biasa berlayar ke sumatera semenanjung Cina, Campa, India, Persia  sampai ke negara Arab. Ia bersahabat dengan saudagar dan para pejabat setempat.

Oleh karena sering mengembara di luar negri itulah sang Bratalegwa kemudian menemukan jodohnya dengan seorang muslimah yang bernama Farhana binti Muhamad. Muhamad adalah saudagar yang menjadi sahabat dan rekannya dalam perdagangan.

Sang Bratalagawa kemudian memeluk islam. Bersama istrinya ia menunaikan ibadah haji ke mekah. Di tanah suci dia mendapat kan julukan Haji Baharudin Al Jawi. Dari tanah suci mekah Sang bratalagawa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh. Setibanya di ibukota ia menemui adiknya Ratu Banawati, bersilaturahmi sekaligus mengajak adik nya masuk Islam tetapi upayanya tidak berhasil. Sang Bratalagawa alias haji Baharudin Al jawi beserta istrinya kembali ke Cirebon Girang. 

Di Cirebon Girang dia mengajak kakanya Ki gedeng Kasmaya Untuk menganut agama islam tapi kakanya juga menolak ajakannya. Ketidakberhasilannya tidak membuat keretakan hubungan keluarganya baik kepada adik ataupun kakanya. 

Haji Baharudin tetap membantu kelancaran pemerintahan kakak dan adiknya. Hal diatas sesuai dengan apa yang tertulis dalam buku berjudul “Rundayan Sunan Rumenggong dan Sunan Cipancar Limbangan” yang disusun oleh Raden Achmad Djubaedi, penerbit GATRA Garut.


Catatan dan permasalahan mengenai Raden Bratalegawa

Dari informasi diatas terlihat adanya ketimpangan tahun, Sri Wastu Kancana pada saat ditinggal wafat oleh ayahandanya, ia masih kecil, masih kecil dalam ukuran di jaman itu sekitar lima tahunan. Jadi bisa diperkirakan bahwa Sri Wastu Kancana lahir pada tahun 1352 M 

Biasanya perbedaan usia suami istri pada jaman itu sekitar ilma tahunan ke atas, jadi tahun lahir Nyi Mas Mayangsari sekitar 1347 M. Nyi Mas Mayangsari adalah adik dari Rd Bratalegawa. Jadi tahun lahir Raden Bratalegawa sekitar tahun 1350 M 

Lazimnya seorang istri lebih muda maka tahun kelahiran Farhana istri Rd Bratalegawa lahir sekitar tahun 1357 M 

Rd Ahmad Syafiyudin adalah putra dari Rd Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh, disini kami ambil sebagai putra ke-3 untuk mengejar kurun Syekh Datuk Kahfi, maka tahun lahir Rd Ahmad Syafiudin adalah 1377 M, mengambil rujukan di zaman itu usia 27 tahun sudah punya beberapa putra, tetapi jika mengambil rujukan bahwa Rd Ahmad Syafiudin adalah putra sulung maka lahir Rd Ahmad Syafiudin lebih tua lagi yaitu pada tahun 1373 M 

Rd Ahmad Syafiudin mempunyai putra diperkirakan pada usia 23 tahun. Jadi tahun lahir Nyi Rd Hadijah sekitar tahun 1400 M, dan jika ayahnya putra sulung maka tahun lahirnya adalah 1396 M. Mengambil rujukan ayah dan kakeknya menikah di usia 23 tahun. Jadi Hadijah lebih tua sekitar tujuh tahun dari Syekh Datuk Kahfi. 

Hadijah menurut catatan diatas menikah kedua kalinya dengan Syeh Datuk Kahfi setelah ia ditinggal wafat oleh suami pertamanya yang seorang saudagar asal Hadromaut. Berarti dalam pernikahan ini tidak ada permasalahan yang menyolok sebab usia Hadijah dan usia Syeh Datuk Kahfi sama, hanya terpaut 7 tahun Hadijah lebih tua dari Syeh Datu Kahfi, mempunyai putra yaitu Nyi Mas Muara, dikarenakan dari pernikahan yang ke-2 maka diambil patokan saat mempunyai putri Nyi Mas Muara. Syekh Datuk Kahfi sudah berusia 30 tahun, jadi tahun lahir Nyi Mas Muara di tahun 1430, dengan kata lain Nyi Mas Muara lebih tua sekitar 17 tahun dari Sunan Gunung Jati, maka dari sinilah apakah Nyi Mas Muara benar benar menjadi istri Sunan Greseng? Lazimnya Sunan Greseng paling tidak seumur atau lebih tua dari Nyi Mas Muara. 

Sebagai catatan bahan kajian Sunan Greseng/Geseng adalah murid dari Sunan Kalijaga, tinggal kita berhitung kemungkinan mengenai pernikahan antara Sunan Geseng dan Nyi Mas Muara, dan menurut Sayyid Mahmud Al-Fatah Sunan Geseng hidup pada tahun (1470-1550), jadi catatan mengenai pernikahan Nyi Mas Muara dan Sunan Geseng sangat rancu, karenan Nyi Mas Muara lebih tua selisih sekitar 40 tahunan lebih tua dari suaminya. 

Catatan dan permasalahan mengenai yang bernama Muhammad ayah dari Farhana berasal dari Gujarat yang dalam riwayat Rd Bratalegawa adalah mertuanya, dan yang bernama Abdullah juga sebagai sahabat karibnya. 

Muhammad dinisbatkan sebagai Sayyid Muhammad Kebungsuan. Dalam riwayat Raden Bratalegawa, tidak disebukan dengan jelas mengenai Muhammad tersebut hanya disebut dari Gujarat, sehingga untuk melacak Muhammad ini cukup sulit. Sedangkan dalam riwayat mashur hanya ada nama Muhammad yang merupakan keturunan Gujajarat dan mempunyai seorang murid yang bernama Ahmad yaitu Sayyid Muhammad Kebungsuan yang lahir pada tahun 1410 M. Mengenai nama "Abdullahâ€" yang disebut dalam riwayat tadi tidak ditemukan nama "Abdullah" yang lain selain yang kaitannya erat dengan Syekh Datuk Kahfi yaitu Sayyid Abdullah Utmadudin kakak iparnya yang lahir sekitar tahun 1400 M. Berarti jika Haji Purwa Galuh dinisbatkan sebagai Raden Bratalegawa yang lahir pada tahun 1350 M akan sulit melacak siapa "Muhammad" dimaksud?  apakah ia mertuanya? dan siapa Abdulloh apakah ia besannya? 

Jika benar yang nama Muhammad itu adalah Sayyid Muhammad Kebungsuan, maka perbedaan usia antara Rd Bratalegawa/Haji Purwa Galuh dan Sayyid Muhammad yang ditulis sebagai mertua adalah 60 tahunan. Sedangkan perbedaan usia dengan Syarifah Farhana istrinya sekitar 76 tahun! Berarti di tahun berapa lahir Rd Ahmad Syaifudin dan putrinya yaitu Hadijah?? Jika kita mengambil patokan bahwa memang yang bernama Muhammad itu adalah Sayyid Muhammad Kebungsuan, dan kita ambil bahwa Farhana adalah putra sulung maka lahir Sayyidah Farhana sekitar tahun 1433 M, maka tahun lahir putranya yaitu Rd Ahmad Syafiudin pada tahun 1449 M (lebih muda satu tahun dari Sunan Gunung Jati), dan saat mempunyai putri yang bernama Hadijah usia Rd Ahmad Syafiudin diusia 23 tahun maka lahirnya Hadijah pada tahun 1472 M, (itu perkiraan jika mengambil rujukan dari lahir Rd Ahmad Syafiudin, jika mengambil rujukan dari tahun lahir istri Rd Ahmad bisa lebih muda lagi ). 

Jika Hadijah menikah diusia 16 tahun atau menikah pada tahun 1488 M. dan dikatakan bahwa Rd Bratalegawa saat Hadijah menikah, ia masih hidup berarti usia Rd Bratalegawa putra Prabu Bunisora saat Hadijah menikah sudah menginjak 138 tahun!! Dan jika Hadijah menikah lagi untuk kedua kalinya di usia 20 tahun atau di tahun 1508 M, Rd Bratalegawa saat itu sudah menginjak usia 142 tahun! Dan disebut dalam riwayat di atas bahwa Bratalegawa masih hidup di usia tersebut atau mungkin si pencatat sejarah tidak menghitung umur. Sementara suami Hadijah yang kedua yaitu Syekh Nur Jati sudah menginjak usia 108 tahun. 

Berarti dengan demikian yang disebut Muhammad dalam riwayat Rd Bratalegawajika benar adalah Sayyid Muhammad Kebungsuan karena tidak ada lagi yang tercatat dalam riwayat,berdasarkan hitungan bahwa putrinya dengan seorang pria yang berusia sudah 76 tahun, juga berumur panjang mencapai usia lebih dari 140 tahunan! 


Kesimpulan 

Jika Sayyid Muhammad Kebungsuan jika dinisbatkan sebagai yang benama "Muhammad" dalam sejarah Haji Purwa Galuh alias Raden Bratalegawa:
  • Logis untuk Sayyid Muhammad sebagai yang bernama "Muhammad". 
  • Rancu di dalam hal masalah perbedaan usia Raden Bratalegawa dengan istrinya selisih 76 tahun, dan rancu dalam usia Raden Bratalegawa yang mencapai usia 142 tahun! 
  • Rancu dalam hal pernikahan Syekh Datuk Kahfi dengan Hadijah karena saat menikah Syekh Datuk Kahfi sudah menginjak usia 108 tahun! Jadi Haji Purwa Galuh di-aliaskan sebagai Raden Bratalegawa tidak bisa diterima secara logika, dan sangat meragukan! 


Haji Purwa Galuh Alias Syekh Maulana Baharudin Al-Jawi (1420-1500 M) Berasal dari Kesultanan Galuh Pakuan (Limbangan) 

Waliyulloh Bumi Perdikan Cahyana 

Tulisan singkat tentang Perdikan Cahyana dan Sejarah Perkembangan Agama Islam di Bumi Cahyana ini bertujuan agar kita dapat mengetahui tentang sekelumit sejarah masa lalu di Bumi Perdikan Cahyana. Daerah Perdikan Cahyana berada di Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. 

Di Kecamatan Karangmoncol ada 13 daerah perdikan, diantaranya: Grantung Andhap, Grantung Kidul, Grantung Gerang, Grantung Lemah Abang, Grantung Kauman, Pekiringan Kauman, Pekiringan Lama, Pekiringan Anyar, Pekiringan Bedhahan, Tajug Lor, Tajug Kidul, Rajawana Lor, dan Rajawana Kidul. Sementara itu, 8 desa yang terdapat di Kecamatan Rembang, diantaranya: Makam Wadhas, Makam Bantal, MakamTengah, Makam Dhuwur, Makam Kidul, Makam Jurang, Makam Panjang, dan Makam Kamal. Salah satu sumber sejarah Perdikan Cahyana adalah piagam-piagam dan beslit-beslit A.M. Kartosoedirdjo dalam naskah Tjarijos Panembahan Lawet yang disusun pada tahun 1941 (Behrend, 1990: 77-78) memuat daftar piagam dan beslit yang diterima oleh para pengelola desa Perdikan di Cahyana. 

Naskah koleksi Museum Sana Budaya dengan kode PB.A. 271 itu sangat berguna untuk melacak keberadaan piagam dan beslit tersebut. Piagam yang diterima adalah 3 piagam, isi piagam yang diberikan oleh Sultan Demak (1403 AJ) dapat dilihat disini, sedangkan piagam dari Sultan Pajang (1503 AJ) dapat dilihat disini, dan isi piagam dari Ki Gede Mataram dapat dilihat disini. Ketiga Piagam tersebut menunjukan bahwa bumi Cahyana adalah bumi perdikaning Allah, bukan perdikaning ratu. 

Sultan Demak, Pajang dan Ki Gede Mataram hanyalah meluluskan dan melestarikan perdikaning Allah kepada Mahdum Wali Prakosa. Begitu pula dalam kasus piagam raja-raja Jawa muslim. Piagam-pigam tersebut menguatkan eksistensi Perdikan Cahyana dengan gutukullah, gutuking Allah, bebenduning para wali, dan ora olih berkahingsun. Dengan demikian, status perdikan menjadi tradisi secara terus menerus karena perubahan pusat politik tidak akan mengubahnya, bahkan piagam dari pusat yang lama akan didukung oleh pusat yang baru dan seterusnya. 

Pangeran Wali Syekh Atas Angin adalah seorang mubaligh Islam dari negara Arab yang termasuk keturunan Rasulullah SAW dari keturunan Sayidina Ali dengan Siti Fatimah. Nama yang sebenarnya adalah Syarif Abdurahman Al-Qadri. Sesudah sholat Subuh ia mendapat ilham bahwa di sebelah timur terdapat tiga buah cahaya putih yang menjulang sangat tinggi ke angkasa. Maka ia beserta 200 orang pengiringnya pergi dari negara Arab, bermaksud akan mencari cahaya tersebut. 

Dalam perjalanannya ia singgah di Gresik dan Pemalang, kemudian terus menuju ke Gunung Cahya hingga ia menemukan cahaya tersebut. Pangeran Wali Syekh Atas Angin berdiam di Cahyana selama 45 tahun. Perkawinannya dengan Nyai Agung Rubiah bekti berputra lima orang, tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu: 
  1. Pangeran Wali Makhdum Kusen/Husen (Kayupuring), makamnya di desa Rajawana, Kecamatan karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. 
  2. Pangeran Makhdum Medem, makamnya di Cirebon. 
  3. Pangeran Makhdum Umar, makamnya di pulau Karimun Jawa. 
  4. Nyai Rubiah raja, makamnya di Ragasela Pekalongan. 
  5. Nyai Rubiah sekar, makamnya di Jambagan, Banjarnegara. 
Pangeran Wali Syekh Jambukarang berasal dari Jawa Barat, putra dari Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman, Raja Pajajaran I. Ketika masa mudanya ia bernama Adipati Mendang (R. Mundingwangi). Tradisi Sadjarah Padjajaran Baboning Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Prijangan Manondjaja menyebutkan bahwa Jambukarang merupakan raja Pajajaran yang bergelar Prabu Lingga Karang atau Prabu Jambu Dipa Lingga Karang (bdk. Soetjipto, 1986:14-20). Sebenarnya ia menggantikan ayahnya menjadi raja di Pajajaran, tetapi ia lebih tertarik kepada pendeta (bertapa) dan kerajaan diserahkan kepada adiknya yang bernama R. Mundingsari. Ia kemudian bertapa di gunung Jambudipa. Ia berganti nama menjadi Jambukarang, begitu pula gunung tempat ia bertapa hingga sekarang terkenal dengan nama Gunung Karang (di Karesidenan Banten, Jawa Barat). Pada saat ia bertapa di gunung Jambudipa (Gunung Karang), tampaklah nur/cahaya (cahya bahasa Jawa) tiga buah, di sebelah timur dan putih warnanya menjulang sangat tinggi ke angkasa. Maka dicarilah nur/cahaya itu beserta 160 pengikutnya dan terdapatlah cahaya itu di Gunung Panungkulan (sekarang dikenal dengan nama Gunung Cahya) di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. 

Dalam perjalanan mencari cahaya itu, ia melalui: 

  1. Kerawang, terus berlayar ke timur sampai di Jatisari. 
  2. Sungai Comal, disini agak lama dan sekarang terdapat petilasan Geseng. 
  3. Gunung Cupu terus mengikuti alirannya sungai Kuripan.
  4. Gunung Keraton terus ke selatan menuju gunung Lawet. 
  5. Bocong sana terus ke selatan sepanjang sungai Ideng, Kedung Budah, Kedung Manggis atau Kesimpar. 
  6. Penyidangan (sekarang bernama Desa Rajawana). 
  7. Karangarum (sekarang bernama Desa Makam) terus ke selatan sampailah di Gunung Panungkulan (Gunung Cahya). 

Kekeramatan atau kesaktian Pangeran Wali Syekh Jambukarang dengan pertolongan Allah SWT antara lain: 

  1. Pecinya bisa terbang ke angkasa. 
  2. Menumpuk-numpuk telur ke udara satu persatu tidak jatuh. 
  3. Dapat membaca surat yang tidak bertulisan. 
  4. Gunung-gunung tunduk ke Gunung Keraton (Lawet) ketika diberi ilmu kewalian. 
  5. Menggandeng tempat-tempat air ke udara (ke angkasa) tidak tumpak airnya. 

Adanya telur dan air yang dapat ditumpuk ke udara dan bergantungan di atas ketika beradu kesaktian dengan Pangeran Wali Syekh Atas Angin maka tempat sebagai adu kesaktian tersebut di kenal dengan nama Grantung. Desa Grantung terletak di Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. 

Setelah wafatnya Pangeran Wali Syekh Jambukarang, perjuangannya diteruskan oleh keturunannya, yaitu cucunya yang bernama Pangeran Wali makhdum Husen. Ketika Pangeran Wali Syekh Atas Angin sampai di tempat munculnya cahaya tersebut dan ternyata disitu telah ada seorang yang berada di dekat cahaya dan sedang bertapa, tak lain orang tersebut adalah Jambukarang. Kemudian ia mengucapkan salam secara islami yaitu Assalamu'alaikum kepada orang tersebut, berulang ia mengucapkan salam akan tetapi tak ada sepatah kata jawaban karena pada saat itu Jambukarang masih memeluk agama Hindu. Diantara keduanya pun akhirnya mengadu kesaktian, sehingga kemenangan berada pada Pangeran Wali Syekh Atas Angin. Dengan perjanjian semula bahwa siapapun yang kalah maka akan beralih ke agama kepada agama sang pemenang. Jambukarang kemudian bersyahadat untuk masuk agama Islam sehingga ia bergelar Pangeran Wali Syekh Jambukarang. 

Sebelum masuk Islam, iaterlebih dulu harus memenuhi segala syarat rukunnya, antara lain mandi taubat, memotong rambut, dan syarat rukun islam lainnya. Petilasan sebagai tempat pertaubatannya pun sekarang masih ada. Ketika Pangeran Wali Syekh Jambukarang akan diberi ilmu Kewalian oleh Pangeran Wali Syekh Atas Angin, maka ia meminta supaya mengambil tempat di Gunung Keraton saja. Hingga saat ini masih ada petilasannya dan dikenal dengan Gunung Lawet. Pada saat Ilmu Kewalian itu diajarkan (dalam bahasa Jawa disebut diwejang), semua gunung yang berada di sekitar Gunung Keraton puncaknya tunduk mengarah kepada Gunung Keraton, hingga saat ini masih dapat dilihat bekas-bekasnya. Akan tetapi ada satu gunung yang tak tunduk puncaknya, maka terkenalah gunung tersebut dengan nama Gunung Bengkeng (membandel). 

Sebagai tanda terima kasih Pangeran Wali Syekh Jambukarang kepada Pangeran Wali Syekh Atas Angin, maka putrinya yang bernama Nyai Rubiahbekti dikawinkan dengannya. Untuk menyempurnakan keislamannya, Pangeran Wali Syekh Jambukarang menunaikan ibadah Haji ke Tanah Suci (Mekah). Sekembalinya dari Tanah Suci, ia dikenal sebagai Mubaligh Agung dan diberi gelar Haji Purwa/Purba. Nama Gunung Lawet berasal dari kata khalwat, jadi merupakan tempat untuk berkhalwat / tabarrur yaitu mendekatkan diri kepada Allah. 

Dikisahkan timbullah nur / cahaya (dalam bahasa jawa disebut cahya) di Gunung Panungkulan, sebanyak tiga buah, menjulang tinggi ke angkasa dan putih warnanya. Gunung Panungkulan terletak di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. 

Menurut riwayat yang dapat melihat dan menemukan nur/cahya yang timbul di Gunung Panungkulan hanyalah Pangeran Wali Syekh Atas Angin dan Pangeran Wali Syekh Jambukarang. Beberapa nama dari tiga buah nur / cahaya yang timbul di Gunung Panungkulan serta arti yang terkandung di dalamnya: 
  1. Dinamakan Cahyana, sebab cahaya tersebut dapat membuat terang di dunia ini. 
  2. Dinamakan Wonosepi, sebab timbulnya cahaya tersebut ghaib, dahulunya tidak ada sama sekali dan kemudian timbul dengan sendirinya. 
  3. Dinamakan Wonokerso, sebab memang tujuan nur/cahaya tersebut ghaib. 
  4. Dinamakan Wonokesimpar, sebab ghaib, sering dibicarakan dan disinggung, tetapi jarang yang mengetahui hal sebenarnya. 
  5. Dinamakan Pengadanagan, sebab benar-benar cahaya tersebut diharap-harapkan oleh ummat manusia di dunia ini. 
  6. Dinamakan Cahyana, sebab mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk membuat terang awal ummat manusia sejagat. 
  7. Dinamakan Tanggeran, sebab menjadi pertanda bagi orang sejagat. 
  8. Dinamakan Kojur, sebab membuat hancur/sial/celaka kepada kehendak jahat manusia sejagat. 
  9. Dinamakan juga Kecepit. 
  10. Dinamakan Rajawana. 
Sepuluh nama dari tiga cahaya tersebut merupakan sifat cahaya tersebut. Kalau kita ingat bahwa timbulnya cahaya itu, sebelum Agama Islam masuk ke Cahyana, yaitu sebelum datangnya Pangeran Wali Syekh Atas Angin untuk membawa Agama Islam. Maka benar-benarlah bahwa nur/cahaya itu merupakan pertanda akan datangnya petunjuk Allah (Agama Islam) di daerah Cahyana khususnya dan di daerah lain pada umumnya. 

Pangeran Wali Makhdum Husen mengantikan ayah dan kakeknya memimpin Cahyana. Sudah sejak masa Pangeran Wali Syekh Jambukarang, Pajajaran tidak senang kepada daerah Cahyana, Karena berlainan pandangan, yaitu Pajajaran menganut Agama Hindu, sedangkan Cahyana menganut Agama Islam. Maka pada masa Pangeran Wali Makhdum Husen diseranglah Cahyana oleh Pajajaran dengan jumlah yang besar dan dipimpin oleh seorang Patih menyerbu Cahyana, akan tetapi keberanian Pangeran Wali Makhsum Husen, serta keuletan para santri pengikutnya, tentara Pajajaran dapat dikalahkan dan kembali ke Pajajaran dengan tangan hampa. 

Pada saat menghadapi serangan tentara Pajajaran, tampaklah kekeramatan Pangeran Wali makhdum Husen, yaitu pada malam hari ia memohon kepada Allah SWT dengan menjalankan sholat hajat, maka berdatanglah lebah berbondong-bondong banyak sekali dan menyerang balatentara Pajajaran, sehingga balatentara Pajajaran lari tunggang langgang sampai jauh dari daerah tapal batas Cahyana. Akan tetapi berhenti di sebelah barat sungai. Dengan serta merta datanglah makhluk halus yang besar dan akan menghancurkan balatentara Pajajaran, maka larilah semua sisa tentara dari sebelah barat sungai tersebut. 

Sebagai peringatan maka sungai tersebut diberi nama sungai Mulih (dalam bahasa jawa) yang artinya pulang, karena dari sungai inilah tentara Pajajaran pulang. Dan hingga saat ini sungai tersebut masih ada yang terletak di Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah. Tak ketinggalan pula para santri dan pengikutnya dipimpin supaya berdoa memohon pertolongan Allah SWT. Dan doa tersebut hingga saat ini terkenal dengan nama Braen. Braen ini diadakan tiap-tiap hari Besar Islam hampir di semua daerah Cahyana dan sering juga digunakan untuk sesuatu hajat yang lain. Kesenian Braen ini dilakukan oleh orang-orang wanita, dengan bunyi-bunyian terbang. Pemimpin Braen namanya Rubiyah. Jumlah bait doanya lebih kurang 50 bait. Isi Braen bermacam-macam, antara lain doa, sejarah, pendidikan, ketauhidan dan lain-lain. 

Adapun salah satu contoh bait Braen berisi doa: Tulung matulung, tulung Tuan Para Wali lilirna nyawa nira Lilirna ing jagate kelawan sir Allah Para Wali bukakna lawang ing sepangat Nabi Lawan sepangat Allah 

Artinya: Mohon pertolongan kepada Allah SWT Para Wali supaya membangkitkan semangat Membangkitkan dunia dengan perintah Allah Para Wali supaya membuka pinti pertolongan Yaitu safa'at Allah dan Rasul-Nya 

Makam Pangeran makhdum Husen terletak di desa Rajawana, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Pangeran Makhdum Wali Prakosa adalah putra dari Pangeran Makhdum Jamil bin Pangeran Wali Makhdum Husen. Semasa dengan Wali Sanga, dan Kerajaan Islam Demak. Hubungan Cahyana dengan Demak sangat baik. Apalagi ia turut serta dalam pembuatan Masjid Demak, bahkan mendapat bagian membuat soko guru masjid bersama Sunan Kalijaga. Soko tersebut kemudian terkenal dengan nama Soko Tatal. Begitu pula ketika arah masjid masih belum tepat mengarah kiblat, ia turut serta memperbaikinya.  

Hubungan Cahyana dengan Demak bertambah erat lebih-lebih setelah Demak dengan tegas mengakui kemerdekaan Cahyana. Cahyana dapat bantuan seorang guru/mubaligh, bahkan guru tersebut meninggal di Cahyana. Adapun mengenai pengakuan Demak terhadap Cahyana dapat dilihat pada piagam yang tertulis di bawah ini: 
Turunan Piagam Atau Surat Pengakuan dari Kerajaan Demak “Penget laying kang idi Pangeran Sultan ing Demak, kagaduha dening paman Makhdum Wali Prakosa ing Cahyana. Mulane anggaduh laying ingsun dene angrowangi melar tanah Jawa, sun tulusaken pemerdikane pasti lemah pemerdikaning Allah, tan taha ana angowahana ora sun wehi suka khalal dunya akhirat, anaa anak putu hamba anganiaya muga kena ing gutuking Allah lan oleh bebenduning para wali kang ana ing nusa Jawa. Esti yen peperdikaning Allah. 

Artinya: 
Bahwa kami sebagai Sultan Demak, memberikan tanda piagam ini. Kepada Paman Makhdum Wali Prakosa di Cahyana. Mengingat bahwa yang bersangkutan telah membantu menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa, kami tetapkan langsung kemerdekaannya. Pasti tanah ini benar-benar merdeka karena Allah. Barang siapa berani merubah, kami tidak khalalkan dunia dan akhirat. Bila ada anak cucu kami yang berani merusak, moga-moga mendapat kutuk Allah dan semua Wali yang ada di pulau Jawa. Bahwa benar-benar tanah merdeka karena Allah. 

Makam Pangeran Makhdum Wali Prakosa terletak di desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Pangeran Wali Makhdum Cahyana adalah putra dari Agiyana di Ampeldenta dan menantu Pangeran Makhdum Wali Prakosa, suami dari Pangeran Estri. 

Pada saat Pangeran Makhdum Cahyana bersama saudara perempuannya akan menuaniakan ibadah Haji, berangkat dari Ampel singgah di Cirebon. Kemudian menetap beberapa waktu pada Sultan Cirebon. Selanjutnya saudara perempuannya diambil sebagai istri Sultan Cirebon. Karena sesuatu hal yang tidak baik, maka Pangeran Wali Makhdum Cahyana bersama saudara perempuannya, pada waktu malam hari lolos dari Kasultanan Cirebon secara rahasia. Dari Cirebon dengan mengambil jalan melalui hutan belantara, sehingga badannya banyak yang menderita luka, dan akhirnya sampailah di Cahyana. Kemudian ia berguru menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Karena banyak luka-luka pada badannya, maka terkenalah dengan nama Santri Gudig. Lama ia menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Di dalam pesantren ia sangat patuh kepada gurunya dan pandai, cakap susila serta mempunyai beberapa keistimewaan yang jarang ada bandingannya. 

Oleh Karena itu Pangeran Makhdum Wali Prakosa sangat kasih sayang kepadanya dan akhirnya diambil sebagai menantunya. Kesaktian Pangeran Wali Makhdum Cahyana antara lain: 
  1. Kain yang sedang dipakainya waktu tidur malam hari bercahaya seperti ada apinya. 
  2. Mempunyai keahlian mengambil ikan air yang sangat luar biasa. 
  3. Mempunyai keahlian bertani yang istimewa sehingga hasil pertaniannya luar biasa baiknya. 
  4. Mempunyai ilmu rahasia untuk menghilang, sehingga musuh tidak sempat dan tak dapat mencarinya. 
  5. Dapat memerintah batu-batu supaya berjalan sendiri ketika ia membuat lantai rumah, sehingga seperti binatang ternak yang digiring, dan ia mengambil ranting pohon waru sebagai cambuknya. 

Barang-barang peninggalan Pangeran Wali Makhdum Cahyana antara lain: 
  1. Lumbung padi, sebenarnya lumbung ini sebagai tempat pengumpulan padi zakat yang digunakan untuk kesejahteraan lahir batin sesuai dengan ajaran Islam. 
  2. Langgar untuk sholat dan pengajian. 
  3. Sorban hijau muda (seperti sorban haji). 
  4. Sorban hitam tua. 
  5. Kain lurik kepyur. 
  6. Kain batik barong. 
  7. Kitab-kitab. 
  8. Ceret tembaga. 
  9. Kendil/periuk tembaga. 
  10. Terbang. 
  11. Golok/pedang. 
Setelah wafat, ia dimakamkan di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Keduanya adalah putra dari Pangeran Makhdum Tores. Makhdum Tores merupakan saudara kandung dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa, ia dimakamkan di Bogares (Tegal). 

Setelah Pangeran Makhdum Cahyana wafat, maka Kiai Pekeh/Fakih dan mas Barep yang menggantikan pimpinan daerah Cahyana. Mulai Kiai Pekeh/Fakih dan mas Barep inilah timbulnya pembagian pimpinan keluarga Cahyana menjadi dua pimpinan kepala keluarga, dari keluarga keturunan Pangeran Wali Syekh Jambukarang. Seterusnya berkembang biak, hingga sampai waktu sekarang ini telah menjadi 21 kepala keluarga. Dari kepala keluarga ini berkembang menjadi ribuan jumlahnya, baik di daerah Cahyana sendiri maupun di luar daerah Cahyana. 

Kesaktian Kiai Pekeh/ Fakih dan mas Barep: 
  1. Kiai Pekeh/ Fakih dengan pertolongan Allahdapat sholat di atas pelepah pohon pisang yang masih berdiri. 
  2. Mas Barep dengan pertolongan Allah dapat mendatangkan angin rebut, sehingga pohon-pohon jati di hutan jati daerah Tegal banyak yang roboh. 

Ziarah Makam 
Syekh Jambu Karang di Rembang Petilasan atau Makam Syekh Jambu Karang atau Jambukarang lebih dikenal masyarakat jawa sebagai Ardi Lawet atau Ardilawet. Terletak di puncak gunung Lawet yang masuk kedalam Wilayah Pemerintah Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah, dengan ketinggian kurang lebih 3000 mdpl. 

Disebutkan oleh berbagai kitab merupakan wilayah Perdikan Cahyana. Menurut kitab Babad Tanah Jawa, Syeh Jambu Karang merupakan salah satu tokoh yang turut menyebarkan ajaran Agama Islam di Pulau Jawa. Bahkan jauh sebelum Wali Songo melakukan Syiar Agama Islam. Sebagai salah satu Tokoh Islam di pulau jawa, maka banyak cerita yang bervariasi di dalam masyarakat sekitar, dari silsilah sampai dengan berbagai kesaktian yang dimiliki, bahkan hingga betapa mustajabnya doa yang dipanjatkan disana.

Perdikan Cahyana atau bumi cahyana menurut Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (deel I) tulisan C.J Hasselman (1887) adalah bumi perdikaning Allah, bukan perdikaning ratu, sesuai dengan 3 Piagam yang disebutkan disana, yaitu: Piagam Sultan (1403 AJ), Sultan Pajang (1503 AJ), dan Ki Gede Mataram. Ketiga piagam tersebut meluluskan dan melestarikan perdikaning Allah tersebut kepada Mahdum Wali Prakosa (Perkasa). 

Dalam tradisi Cahyana, Pangeran Mahdum Wali Prakosa berjasa dalam membangun Masjid Agung Demak. Silsilah atau asal usul menurut manuskrip Cariyosing Redi Munggul, Pangeran Jambu Karang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman. Pangeran Jambu Karang ditonjolkan sebagai Raja Sunda yang masih kafir. Kemudian diislamkan oleh Pangeran Atas Angin setelah melalui perang kesaktian yang dimenangkan oleh Pangeran Atas Angin. 

Kemudian Pangeran Atas Angin menikah dengan putri Pangeran Jambu Karang yang bernama Rubiyah Bekti. Perkawinan mereka melahirkan lima orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring) yang dimakamkan di Rajawana, (2) Mahdum Madem (makamnya di Cirebon), (3) Pangeram Mahdum Omar (makamnya di Pulau Karimun, Jepara), (4) Nyai Rubiyah Raja (makamnya di Ragasela, Pekalongan), dan nyai Rubiah Sekar (makamnya di Jambangan Banjarnegara). 

Hubungannya wali Prakosa dengan Syekh Jambu Karang. Pangeran Mahdum Kusen berputra Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil mempunyai dua orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Tores (makamnya di Bogares, tegal) dan (2) Pangeran Wali Prakosa (makamnya di desa Pekiringan, karangmoncol, purbalingga). Pangeran wali Prakosa inilah yang disebut dalam Piagam Sultan demak yang berasal dari tahun Jawa 1503 sehingga ia merupakan tokoh sejarah, sedangkan Pangeran Jambu Karang, Pangeran Atas Angin, Pangeran Mahdum Kusen, dan Pangeran Mahdum Jamil adalah tokoh-tokoh legendaris dari Perdikan Cahyana.  


Siapa Haji Purwa Galuh ? 

Jika Haji Purwa Galuh dinisbatkan sebagai Raden Bratalegawa seperti dalam uraian di atas,  maka akan timbul kerancuan seperti yang telah diuraikan di atas, tapi jika Haji Purwa Galuh dinisbatkan alias Prabu Mundiwangi putra Sunan Rumenggong maka: 
  1. Tidak bersebrangan dengan kurun dan tahun 
  2. Tidak bersebrangan dengan riwayat tokoh lainnya 
  3. Adanya keseimbangan dalam uraian usia pernikahan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya 
  4. Nara sumber Haji Purwa Galuh alias Prabu Lingga alias prabu Mundingwangi lebih berbobot dibanding dengan Haji Purwa Galuh alias Raden Bratalegawa. 
Ada dukungan riwayat yang tercatat dari keturunannya yang notabene para ulama ahli nasab dan ulama fuqoha dari ketuirunan Sunan Rumenggong sendiri. Maka dengan itu kita yakin bahwa Haji Purwa Galuh adalah Haji Purwa Lingga atau Prabu Mundingwangi atau Syeh Haji Baharudin atau yang menurut sejarah Limbangan Sunan Cisorok alias Mangun Rembang Jaya putra Sunan Rumenggong dan jelas bukan Raden Brtalegawa putra Prabu Bunisora yang ditulis oleh beberapa naskah yang beredar sekarang ini. Mengenai nasab Haji Purwa Galuh/Haji Baharudin Al-Jawi (lahir 1420 M) yang ditulis dalam babad Cirebon. 

Berdasarkan fakta-fakta yang didapat maka dapat disimpulkan yang di maksud dengan Haji Purwa Galuh adalah Prabu Mundingwangi alias Sunan Cisorok alias Prabu Lingga alias Syekh Jambu Karang putra Sunan Rumenggong/Prabu Layaran Wangi raja Galuh Pakuan yang sekarang bernama Limbangan, hal tersebut didasari pada: 
  • Bobot narasumber mengenai sejarah masuknya Islam di Pedirkan Cahyana jauh lebih tinggi dibanding dengan narasumber yang menulis bahwa Haji Purwa Galuh adalah putra Prabu Bunisora 
  • Secara hitungan tahun dan kurun tidak bertentangan dengan sejarah dan nasab lainnya misalnya dengan: 
  1. Sejarah Cirebon mengenai keberadaan Syarif Abdulloh 
  2. Sejarah Sayyid Muhammad Kebungsuan mengenai keberadaan muridnya yang bernama Ahmad bin Abdulloh yang tak lain berdasarkan telaah kami adalah cucunya sendiri, atau bisa jadi Sayyid Ahmad bin Abdullah Utmadudin, tetapi yang paling mungkin adalah Syekh Ahmad bin Syekh Haji Baharudin (dan Sayyid Ahmad Syafiudin adalah mantu dari Sayyid Abdulloh Utmadudin karena menikah dengan Sayyidah Ruqoyah binti Abdulloh Utmadudin) dan ibunya Sayyid Ahmad Syafiudin adalah Syarifah Farhana binti Muhammad Kebungsuan. 
  3. Sejarah yang tecatat di Limbangan mengenai makam Sunan Cisorok alias Prabu Mundingwangi alias Mangun Rembang. 
  4. Keterangan dari masyarakat Pedirkan Cahyana dimana yang ada di tempat itu hanya patilasan saja. 
  5. Keterangan dari keturunan Adipati Wiradadaha VIII dalam hal ini KH Rd Umar Zain, dalam sejarah mengenai Prabu Mundingwangi salah satu sanad riwayatnya melalui kanjeng Adipati Wiradadaha Manonjaya Sukapura yang merupakan leluhur dari KH Rd Umar Zain 
  6. Dipati Manonjaya tidak menyebut putra Prabu Siliwangi. Dia hanya menyebut "Raja Pajajaran€" atau raja di wilayah bawahan Pajajaran, kalau ia meyakini dari Prabu Siliwangi maka dengan tegas pasti akan disebutkan 
  7. Nasab dan silsilah keluarga Mahmud Bandung dalam hal ini di tulis oleh KH Rd Muhammad Zarkasy/Mama Cibaduyut Bandung 
  8. Catatan silsilah Dipati Ukur yang dipegang oleh Kiai Rd Asep Rifa'i Cikelepu Limbangan.  Mengenai "€Muhammadâ€' mertua Haji Purwa Galuh/Prabu Mundingwangi (Lahir tahun 1410M) Yang dimaksud dengan "Muhammad" disini adalah Sayyid Muhammad kebungsuan, hal ini di dasari pada: 
    • Tahun lahir Sayyid Muhammad dari sumber yang valid adalah tahun 1410M, dan menjadi Adipati tahun 1448M 2. Nama lain Sayyid Muhammad Kebungsuan dari beberapa sumber adalah Adipati Handayaningrat atau Bre Wijaya mantu dari Brawijaya V Majapahit, dan ini jelas tertolak dalam versi lain Sayyid Muhammad Kebungsuan tidak pernah menjadi Adipati, ia adalah seorang ulama tulen penyebar agama Islam 
    • Ia keturunan Gujarat karena ayahnya adalah Sayyid Ahmad Jalaludin Syah bin Abdulloh 
    • Mengenai yang bernama “Abdulloh” besan dari Haji Purwa Galuh dan Syarifah Ruqoyah bin Syarif Abdulloh Yang dimaksud dengan Abdulloh dalam riwayat Haji Purwa Galuh, adalah Syarif Abdulloh bin Ali Nurul Alam, hal ini didasari: 
    • Syarif Abdulloh adalah keponakan dari Sayyid Muhammad Kebungsuan mertua Haji Purwa Galuh
    • Dari kurun waktu tidak tumpang tindih dengan sejarah Haji Purwa Galuh/Mundingwangi tahun 1415 M dan Syarif Abdulloh sekitar tahun 1400 M. 
    • Syarif Abdulloh salah satu penyebar islam di Jawa Barat dan suami dari Nyi Mas Santang binti Prabu Siliwangi 
    • Syarif Abdulloh mempunyai seorang putri yaitu adik dari Sunan Gunung Jati yang bernama Ruqoyah, yang lahir sekitar tahun 1455-1460 M (mengambil patokan dari lahir Sunan Gunung Jati !448M) yang diperistri oleh Sayyid Ahmad Maulana Syafiudin bin Sayyid Baharudin Al-Jawi bin Sunan Rumenggong/ Sayyid Komarudin atau Sayyid Ahmad bin Sayyid Baharudin bin Prabu Layaran Wangi/ Sayyid Komarudin, dan hal ini didukung oleh sumber sumberr lain yang mencatat akan adanya adik perempuan dari Sunan Gung Jati, hanya dicatat sebagai istri Sunan Kalijaga, padahal Sunan Kalijaga menikah dengan Syarifah Zainab binti Sayyid Abdul Jalil dan putri Sunan Ampel 
    • Mengenai nama “Ahmad” murid Sayyid Muhammad Kebungsuan 

    Riwayat Singkat sayyid Muhammad Kebungsuan 
    Muhammad Kebungsuan merupakan anak dari Sayyid Jamaludin Husein, sedangkan ibunya bernama Putri Selindung Bulan dari Negeri Chermin.Ia dilahirkan pada tahun 1410 M (madawis.blogspot.com), dan memiliki saudara kandung bernama Sayyid Ali Nurul Alam.Sejak kecil, Sayyid Kebungsuan mendapat didikan Keislaman dari ayahnya (trezabmelayu.blogspot.com), dan ketika meranjak remaja, ia mengikuti jejak ayahnya sebagai penyebar dakwah Islam di Nusantara.Pengetahuannya yang luas tentang Islam, membuatnya menjadi rujukan dikalangan masyarakat muslim. Dan sebagai Ulama, ia banyak memiliki santri, salah satunya Sayyid Ahmad bin Abdullah.Kelak Sayyid Ahmad ini memberi nama anaknya, persis dengan nama gurunya (assyarif.com), dan dikemudian hari sang anak dikenal sebagai Pendiri Kerajaan Mindanao Filipina. .berdasarkan penyelusuran yang dilakukan oleh ahli Nasab, Sayyid Alwi bin Thohir Al-Haddad, Mufti Negeri Johor Malaysia 

    Nasab lengkap Sayyid Muhammad Kebungsuan (Malaya) 
    adalah: Sayyid Muhammad Kebungsuan (Malaya) bin Husein Jamalludin bin Ahmad Syah Jalal bin Abdulloh Azmatkhan bin Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Marbath bin 'Ali Khali' Qasam bin 'Alwi Ba’alawi bin Muhammad Baitu Jubair bin 'Alwi Al-Mubtakir bin 'Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin 'Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin 'Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin 'Ali Zainal 'Abidin bin Al-Husain bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah. Kerajaan Mindanao, banyak yang menulis didirikan oleh Sayyid Muhammad Kebungsuan bin Ali Zainal Abidin (Makkah). Namun berdasarkan penelitian, sosok yang dimaksud adalah : Sayyid Muhammad Kebungsuan (Mindanao) bin Ahmad bin 'Abdullah bin Muhammad bin 'Ali Zainal 'Abidin bin 'Abdullah bin 'Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shahib Marbath bin 'Ali Khali' Qasam bin 'Alwi Ba'alawi bin Muhammad Baitu Jubair bin 'Alwi Al-Mubtakir bin 'Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin 'Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin 'Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin 'Ali Zainal 'Abidin bin Al-Husain bin Fathimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah. Tapi masalahnya menurut Sayyid Mahmud Al-Fatah mengenai Sayyid Muhammad Kebungsuan (Mindanao) banyak pertentangan, dan silsilah Sayyid Ahmad yang disebut sebagai murid dari Sayyid Muhammad Kebungsuan Malaya masih dipertanyakan. 


    Penelusuran nasab “Sayyid Ahmad” murid Sayyid Muhammad Kebungsuan 
    Mungkin ada dua murid Sayyid Muhammad kebungsuan Malaya yaitu: 
    • Sayyid Ahmad bin Abdulloh (dipertanyakan oleh beberapa ulama ahli nasab ) 
    • Sayyid Ahmad Syafiudin bin Baharudin/Haji Purwa Lingga bin Sunan Rumenggong Adapun Sayyid Ahmad Syafiudin bin Sayyid Baharudin bin Sunan Rumenggong pantas menjadi murid dari Sayyid Muhammad Kebungsuan didasari: 
    • Sayyid Ahmad Syafiudin adalah cucu dari Sayyid Muhammad Kebungsuan sendiri dikarenakan ibunya yaitu Sayyidah Farhana adalah putri dari Sayyid Muhammad Kebungsuan (Malaya) 
    • Sayyid Abdulloh bukan ayah dari dari Sayyid Ahmad Syafiudin tapi mertuanya, karena ia menikah dengan Sayiidah Ruqoyah binti Abdulloh Utmadudin, yang mana Sayyid Abdulloh utmadudin juga merupakan kakak sepupunya sendiri. Atau mungkin juga nama dari Sayyid Baharudin adlah Abdullah Baharudin. Jadi jika demikian, yang lebih pantas menamai putra sebagai Sayyid Muhammad Kebungsuan II (Minadanoi) adalah Sayyid Ahmad Syafiudin sebab ia dan putranya masih ada tautan dari Sayyid Muhammad Kebungsuan Malaya! jadi menurut silsilah Sayyid Muhammad Mindanao adalah: Sayyid Muhammad Kebungsuan (Mindanau) bin Ahmad Mawlana Syafiudin bin Sayyid Baharudin Al-Jawi/Prabu Lingga Karang bin Sunan Rumenggong bin Sayyid Komarudin bin Sayyid Ahmad Jalaludin Syah bin Sayyid Abdulloh bin Sayyid Abdul Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Sohibul Mirbath 

    Analisa Nasab Dan Riwayat Terhadap Tokoh Yang Terkait Dengan Haji Purwa Galuh/Syeh Baharudin Al-Jawi 1)

    Syekh Jumadil Qubro/Sayyid Jmaludin Al-Qubro Berdasarkan riwayat, Syeh Ahmad Jalaludin Husain berumaur sangat panjang sampai 180 tahun, hal ini yang sangat sulit diterima secara logis, menurut kami Sayyid Muhammad Kebungsuan, Sayyid Nurul Alam adalah putra dari Syekh Jumadil Qubro, didukung oleh keterangan keluarga kami (KH Rd Umar zain) dan Garut yaitu: 
    1. Dalam catatan silsilah Embah Nuryayi Garut tercatat dalam susunan nasab Sunan Gunung Jati hanya urutan yang harus diluruskan 
    2. Ketreangan keluarga KH Rd Umar Zain bahwa Syeh Jumadil Qubro leluhur dari Sunan Rumenggong 
    3. Berdasarkan catatan tertulis di makam Syeh Jumadil Qubro, tertulis bahwa Sunan Gunung Jati adalah keturunan Syeh Jumadil Qubro Jadi dalam hal ini kami harus konsekwen pada analisa tahun juga keterangan keluarga kami, yaitu KH Rd Umar Zain dan KH Rd Emed Dimyati (Mama Cimasuk), nahwa Syeh Juadil Qubro adalah leluhur sebahagian dari para Wali Songo diantaranya Sunan Gunung Jati termasuk, Sayyid Muhammad Kebungsuan adalah putranya. 
    4. Sayyidah Hadijah istri Sayyid Abdurahman Basyaiban putri siapa?? Tidak setiap yang berada di Cirebon adalah putra Sunan Gunung Jati, dan Sunan Gunung Jati Tidak Mempunyai Putri Yang Bernama Khadijah. Jadi Sayyidah Hadijah adalah putri Sayyid Ahmad Syafiudin bin Sayyid Baharudin bin Sayyid Muhammad Abdullah/Sunan Rumenggong bin Sayyid Komarudin Dalam riwayat Cirebon, 
    5. Sayyidah Hadijah dua kali menikah, berdasarkan riwayat Babad Cirebon : 
    • Dengan Saudagar asal Hadromaut, dan wafat tidak sempat mempunyai keturunan (diperkirakan pernikahan terjadi pada tahun 1490 M-1492M) 
    • Dengn Syeh Nur Jati, dikaruniai seorang putri yaitu Nyi Mas Muara yang menikah dengan Sunan Geseng murid Sunan Kalijaga 3) Telaah terhadap pernikahan Sayyidah Hadijah. 
    • Syeh Haji Ahmad Syafiudin lahir pada tahun1449M, berarti Hadijah lahir pada tahun 1472M, tetapi jika merujuk pada istrinya yang adalah adik dari Sunan Gung Jati maka Hadijah lahir sekitar 1474M. 
    • Dalam beberapa riwayat disebutkan adanya nama “Sayyid Abdurahman “ yang menjadi mantu Sunan Gunung Jati yang menikah dengan Ratu Hadijah, Sayyid Abdurahman ini ber-Fam Basyaiban, seharusnya Sayyid Abdurahman Basyaiban ini menikah dengan Sayyidah Hadijah binti Syeh Ahmad Mawlana Syafiudin bin Syeh Haji Abdulloh Baharudin Al-Jawi/Prabu Mundingwangi yang saat itu memang bermukim di Cirebon Girang, apalagi adanya keselarasan riwayat dengan catatan sejarah Haji Purwa Galuh/Syeh Jambu Karang bahwa suami pertama dari Sayyidah Hadijah adalah seorang saudagar kaya yang berasal langsung dari Hadromaut.Hanya pertanyaanya apakah Sayyid Abdurahman ini suami pertama atau suami ke-2? Sedang dalam catatan Babad Cierebon Hadijah dari suami yang pertama tidak memiki keturunan! 
    Prediksi: Sayyidah Hadijah tiga kali menikah, yaitu :
    • Suami ke satu dengan Sayyid Badrudin bin Raden Fatah Demak (ditinggal wafat tahun 1504 M, tidak berketurunan) 
    • Suami ke dua dengan Sayyid Abdurahman (ditinggal Wafat, berketurunan diantaranya Sayyid Hasyim) 
    • Suami ketiga Syarifah Hadijah dengan putra Syeh Nur Jati dan bukan dengan Syeh Nurjati, dikaruniai putri yaitu Nyi Mas Muara 
    • Kepulangan keluarga Sayyid Ahmad Syafiudin ke Cirebon bukan dikarenakan wafatnya suami Syarifah Hadijah, tetapi dikarenakan setelah wafat kakeknya yaitu Sayyid Muhammad Kebungsuan. 

    Pelurusan Riwayat Haji Purwa/Syeh Jambu Karang/Syeh Haji Baharudin Al-Jawi 

    • Diriwayatkan bahwa Pangeran Atas Angin/Sayyid Abdurahman mendapatkan bahwasanya cahaya yang menjulang ke atas ternyata adalah Raden Mundingwangi, ini menunjukan bahwa sebelum bertemu dengan Sayyid Abdurahman pun Raden Mundingwangi sudah menjadi Waliyulloh. 
    • Ada riwayat ganjil, dimana sebagai tanda berterimakasih kepada Sayyid Abdurahman maka Raden Mundingwangi menikahkan putrinya yaitu Nyi Mas Rubiah Bekti kepada sayyid Abdurahman. 
    • Sayyid Abdurahman adalah murid dari Syeh Baharudin Al-Jawi atau Prabu Mundingwangi, dan sekaligus mantu Haji Purwa/Prabu Mundingwangi. Setelah ada peganti Haji Purwa kembali ke Galuh Pakuan sampai dengan wafatnya, adapun Sayyid Abduraman menetap di Perdikan Cahyanana. 
    • Belum ada keterangan yang pasti mengenai kenapa Sayyid Abdurahman sampai ke Pangandaran? Hanya dalam riwayat tertulis berada berada di Perdikan Cahyana selama 45 tahun 


    Referensi Pustaka 

    1. Achmad, 1991. "Purbalingga ing Atiku". Purbalingga: Seksi Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Purbalingga. 
    2. Atja, 1970. "Carita Ratu Pakuan". Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah Perpustakaan Sundanologi. 
    3. Atmo, Tri. 1984. "Babad dan Sejarah Purbalingga". Purbalingga: Pemda Dati II Purbalingga. 
    4. Atmo, Tri dan Sasono. 1993. "Mengenal Purbalingga Daerah Tempat Lahir Jenderal Sudirman". Jakarta: Paguyuban Arsakusuma. 
    5. Behrend, T.E. 1990. "Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sana Budaya" Yogyakarta. Jakarta: Djambatan & Ford Foundation. 
    6. Behrend, T.E. dan Titik Pudjiastuti. 1997. "Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3A" Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Ecole Francaise D'Extreme Orient. 
    7. Boechari, M. 1977. "Candid an Lingkungannya€. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia", Jilid VII, edisi Juli, No.2. 
    8. Darmoredjo, S. 1986. "Riwayat Hidup Singkat Bapak Supono Priyosupono". Karangmoncol: tp. 
    9. Ekadjati, Edi S., 1982. "Ceritera Dipati Ukur, Karya Sastra Sejarah Sunda". Jakarta: Pustaka Jaya. 
    10. Hasselman, C. J. 1887. "De Perdikan Dessa's in Het District Tjahijana (Afdeeling Poerbolinggo, Residentie Banjoemas)". Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur, deel I: 72-104. 
    11. Kartosoedirdjo, A.M. 1941. "Tjarijos Panembahan Lawet". Jogjakarta: Museum Sana Budaya. 
    12. -------------. 1967. Diktat Riwayat Purbalingga. Selanegara: stensil. 
    13. Knebel, J. 1998. "Darmokoesoemo of She Djambukarang, Desa Legenda uit het Javaansch Medegedeeld."€ Tijdschrift voor Indische Taa-l, Land-, en Volkenkunde van het bataviaasch Genootschap van Kunstent en Wetenschappen, deel XXXIX, 1:118-127. 
    14. Mugiono. 1999. "Mengenal Perjuangan Pangeran MahdumWali Perkasa di Tanah Perdikan Cahyana Pekiringan". Jakarta: tanpa penerbit. 
    15. Oemarmadi dan Koesnadi Poerbosewojo. 1964. "Babad Banjuma". Djakarta: Amin Sujitno Djojosudarmo. 
    16. Padmapuspita. Ki J. 1966. "Pararaton Teks bahasa Kawi Terdjemahan Bahasa Indonesia". Jogjakarta: Taman Siswa. 
    17. Slametmuljana, 1979. Nagarakretagama dan tafsir sejarahnya. Jakarta: bhratara. 
    18. ------------. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Idayu Press. 
    19. Soekmono. 1977. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Semarang: IKIP Semarang Press. 
    20. Soetjipto, Akhmad. 1986. Sejarah Singkat Pangeran Wali Syekh Jambukarang atau haji Purwa dan Wali Sanga. Yogyakarta: tanpa penerbit. 
    21. Steenbrink, Kareal A. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang. 
    22. Supanggih. 1997. Karangmoncol dan Perkembangannya. Jakarta: tanpa penerbit. 
    23. Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Sillwangi. Jakarta: Pustaka Jaya. 



    Demikianlah Artikel Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Haji Purwa: Polemik Bratalegawa sebagai Haji Purwa atau Haji Pertama Nusantara ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel

    close