The People Power
The People Power - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang The People Power !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
Cerpen !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema The People Power ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
YakusaBlog- Apalagi yang bisa diharapkan dari Penguasa, pabila Penguasa yang sebelumnya dipilih oleh rakyat, tapi Penguasa itu tidak menjungjung tinggi keadilan dan kejujuran? Apalagi yang bisa diharapkan rakyat, jika Penguasa negaranya tidak pro rakyat? Apalagi yang diharapkan oleh rakyat, pabila Penguasa negaranya lebih berpihak pada sekelompok orang?
Apa yang harus diperbuat oleh rakyat? Tiada yang lain, kecuali menggantikannya. Konstitusi negara pun memberikan kesempatan pada rakyat untuk menggantikan Sang Penguasa yang tidak jujur dan adil, lewat Pemilihan Umum, lewat perwakilan atau referendum. Di luar dari itu, menurunkan secara paksa juga dapat dihalalkan, ketika rakyat menghendakinya.
Lantas, apa yang bisa diperbuat rakyat jika pilihan mereka yang seharusnya menang menggantikan Penguasa sebelumnya, tapi kemenangan itu dikebiri oleh Penguasa yang tak mau digantikan? Apa gunanya demokrasi dari rakyat jika pilihan mayoritas rakyat dikalahkan oleh permainan curang dalam sebuah sistem, instrumen penyelenggara pemilihan umum dan seluruh perangkat demokrasi? Sekali lagi, apa yang harus dilakukan oleh rakyat?
***
“Assalamu’alaikum…” Abdullah mengetuk pintu rumah Makmur, sahabatnya sewaktu di Pondok Pesantren dua puluh tahun lalu.
“Wa’alaikumsalam…” Seorang gadis berjilbab berusia sekitar tujuh belas tahun, menjawab sambil berjalan mendekati kea rah sumber suara salam.
“Ada apa, Pak? Mau cari siapa?” Tanya gadis manis itu dengan ramah.
“Bapak ada?” Tanya Abdullah.
“Ada. Bapak ada di kamar.” Jawab gadis manis itu dengan sopan. “Bapak dari mana?” Ia bertanya lagi.
“Tolong dipanggil.” Abdullah tidak menjawab pertanyaan gadis manis itu. Ia malah meminta tolong supaya memanggil sahabata lamanya itu, Makmur.
“Baik, Pak.” Gadis itu tidak mau bertanya panjang kali lebar sehingga melebar. Ia berhenti menjadi wartawan yang banyak tanya demi harta.
Secara penampilan, Abdullah tidak pantas dicurigai. Penampilan seperti Abdullah itu sudah sering ia lihat, ketika teman-teman Ayahnya atau jema’ah Ayahnya yang datang ke rumah untuk bersilaturahmi.
“Bentar ya, Pak. Bagaimana kalau Bapak masuk dulu. Menunggu di ruang tamu saja.” Gadis manis itu mempersilahkan Abdullah masuk. Sungguh gadis itu amat manis, ramah, sopan dan pandai menghormati tamu.
“Baik.” Kata Abdullah padat sambil melangkahkan kakinya menuju ruang tamu mengikuti gadis tersebut.
“Silahkan duduk, Pak. Saya akan panggil Bapak.”
“Baik. Terimakasih ya.”
“Sama-sama, Pak.” Kata gadis itu kemudian meninggalkan Abdullah sendirian di raung tamu.
Tidak lama Abdulah menunggu, akhirnya Makmur, sahabatnya sewaktu di Pondok Pesantren, dua puluh tahun yang lalu, pun datang menghampirinya.
“Subhanallah…” Kata Makmur ketika berada dihadapan sahabat lamanya, Abdullah.
Terbuka senyum lebar mereka berdua. Mereka tertawa kecil, berpelukan begitu akrab, seolah-olah tidak bertemu ribuan tahun. Gadis manis itu pun ikut juga tersenyum bangga melihat persahabatan Ayahnya.
“Apa kabar kau, Abdullah?” Tanya Makmur yang masih memegang tangan sahabatnya selepas berpelukan akrab.
“Alhamdulillah… sehat dan baik-baik saja, seperti apa yang kau lihat sekarang.” Jawab Abdullah sambil tertawa pelan. “Kau bagaimana kabarnya?” Abdullah balik bertanya.
“Alhamdulillah, seperti yang kau lihat juga.” Kata Makmur. “Apa cerita, mengapa kau jauh-jauh dari kampung datang ke mari?” Tanya Makmur balik.
“Ada hal serius yang harus kita bicarakan, mungkin akan terjadi sesuatu.” Jawab Abdullah.
“Baik. Aku siap mendengarkanmu.” Kata Makmur. “Mari kita duduk dulu.” Mengajak sahabat lamanya itu.
Makmur dan Abdullah pun duduk di sofa tua yang sederhana. Makmur letakkan peci hitamnya di atas meja. “Oh…iya. Kau mau minum apa?” Tanya Makmur.
“Apa aja lah. Yang penting bisa diminum. Kalau boleh, secangkir kopi panas.” Pinta Abdullah.
Makmur pun menyuruh anak gadis yang amat manis itu, yang sedari tadi menyaksikan hangatnya persahabatan Ayahnya dengan Abdullah. Gadis itu pergi menyeduh secangkir kopi di dapur.
“Apa yang hendak kita bicarakan mala mini, Dul?” Tanya Makmur dengan menyebutkan sapaan akrab Abdullah.
“Begini, Mur…” Abdullah juga menyebut nama sapaan akrab sahabatanya itu. Rasanya perbincangan itu seperti mereka dahulu di Pondok. “Tentu kau sudah menyaksikan keadaan negara kita sekarang.” Lanjut Abdullah.
“Terkait mengenai pemilihan Presiden?” Tanya Makmur.
“”Iya.” Jawab Abdullah padat.
“Emang kenapa, Dul?”
“Pasti kau sudah tahu dengan gaduhnya rakyat negara kita saat ini terkait hasil hitungan cepat pemilihan Calon Presiden-Wakil Presiden.” Kata Abdullah.
“Iya, Dul. Aku sungguh kecewa dan resah…” Kemudian ia terdiam sejenak. “dan sungguh aneh mengapa keadaan ini terjadi.” Lanjutnya.
“Bagaimana tanggapanmu terkait hasil hitungan cepat yang menurutku berpihak ke salah satu Pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden?” Tanya Abdullah.
“Kalau aku bukan hanya memandang itu saja. Aku juga menyoroti dari berbagai media sosial online, banyak terjadi kecurangan di mana-mana. Misalnya ada Surat Suara yang sudah tercoblos dan banyak hal lainnya yang menurutku ganjil.” Makmur menanggapi pertanyaan tadi.
“Aku menganalisa, seluruh perangkat dan instrument telah diamankan untuk memenangkan salah satu, padahal suaranya kalah.” Abdullah bicara begitu serius.
“Kau milih siapa waktu kemarin memilih?” Tanya Makmur.
“Jujur, aku tidak ikut memilih. Aku golput. Karena aku kurang suka pada kedua-duanya.” Gadis manis itu pun mengentikan sementara kata-kata Abdullah. Hanya suara secangkir kopi yang terbuat dari keramik itu terdengar karena menyentuh meja kaca yang ada di depannya. “Tapi, saat aku melihat kecurangan, pengkebirian terhadapat mayoritas pilihan rakyat, aku tergerak. Aku lebih tidak suka dengan kecurangan-kecurangan itu, ketidak-obyektifan penghitungan cepat dan terdapatnya unsur ketidak-obyektifan pada penyelenggara pemilihan.” Lanjut Abdullah. Gadis manis itu sudah pergi meninggalkan mereka setelah meletakkan secangkir kopi.
“Aku juga memandang hal yang sama.” Kata Makmur menanggapi pendapat sahabatanya. “Tapi aku tidak golput.” Makmur tertawa pelan.
“Aku dan teman-temanku di sini, merasa kecewa juga. Kami memang memilih Prakoso-Fandi. Kami terima kalau kami kalah, asal harus dengan penghitungan yang adil.” Kata Makmur. “Nah, berdasarkan informasi, mayoritas rakyat memilih Kosong Dua. Tapi, entah kenapa informasi di tivi dan lembaga survei yang ditayangkan di tivi itu menimbulkan kecurigaan.” Lanjut Makmur.
“Belum lagi yang secara tiba-tiba ada perubahan hasil hitungan cepat di tivi, yang awalnya Kosong Dua yang unggul, eh…tiba-tiba berubah.” Kata Abdullah setelah menyeruput secangkir kopinya. “Dan aku menonton vidionya. Sekarang aku masih menyimpannya di Hp-ku.” Lanjutnya kemudian meletakkan secangkir kopi itu. Ia pun terdiam sejenak. “Jadi bagaimana langkah selanjutnya?” Abdullah bertanya.
“Sesuai arahan, seluruh pendukung dan relawan harus mengawasi secara manual hasil perolehan suara di setiap tingkatan. Mulai dari Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga sampai Pusat.” Makmur menjelaskan.
“Jika pengawasan itu kandas?” Tanya Abdullah lagi. “Maksudku begini…” Abdullah merubah posisi duduknya menjadi lebih serius, “kita ketahui, semuanya telah dikuasai dan diamankan oleh Kosong Satu - Jokowibowo-Ma’rif Mahmud. Bagaimana pengawasan pendukung Prakoso-Fandi bisa mengetahui hasil yang adil? Dapatkah melawan kecurangan yang telah diorganisir sebelum pemilihan?” Lanjut Abdullah sambil bertanya lagi.
Makmur tidak langsung menjawab. Ia memikirkan kira-kira apa gerakan selanjutnya yang harus dilakukan. Ia masih terus diam, seolah-olah memikirkan sesuatu yang sangat berat sekali.
Melihat sahabatnya – Makmur, terus diam, Abdullah hendak bicara. Tiba-tiba saja suaranya terpotong oleh kata-kata Makmur, “Solusi terakhir adalah pengawasan seluruh rakyat yang di Indonesia ini, terkhususnya ratus jutaan pendukung.”
“Maksudmu mengarahkan seluruh rakyat yang mendukung?”
“Iya. Juga rakyat yang peduli.” Jawab Makmur dengan suara yang berat.
“People Power…?” Tanya Abdullah lagi.
“Ya. Suara rakyat adalah suara terkuat dalam demokrasi.” Jawab Makmur dengan penuh serius.
“Maksudmu, kekuatan rakyat?” Abdullah mengulangi pertanyaannya dengan bahasa yang dibanggakannya.
“Ya. Juga denganyang peduli.” Makmur mengulangi jawabannya tadi.
“Apakah itu tidak membuat bangsa kita pecah?”
“Sekarang aku bertanya padamu. Bertanya pada setiap orang yang mendengarkan pertanyaanku ini. siapakah yang mencoba memecah-belah rakyat Indonesia ini? siapakah yang mencoba membuat gaduh rakyat kita saat ini?” Makmur bertanya serius.
Pertanyaan itu membuat wajahnya memerah saat mengucapkannya. Ia menenangkan diri setelah merogoh rokok dikantongnya kemudian menikmati hisapan demi hisapan. Ia hisap, kemudian ia hembuskan asapnya dengan suara yang khas, seolah-olah asap itu dapat menarik rasa keresahannya.
Abdullah tidak bisa menjawab apa-apa. Ia mencoba mengumupulkan jawaban dalam pikirannya, tetapi tetap gagal. Akhirnya ia hanya diam menunggu kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulurnya Makmur dengan diiringi asap rokok.
“Seluruh rakyat yang mendukung Prakoso-Fandi akan turun, meramaikan seluruh kantor penyelenggara pemilihan umum. Ramai-ramai turun ke jalan memprotes ketidak-adilan dan ketidak-jujuran dalam hasil perolehan suara. Dengan demikian rakyat akan menang.” Kata Makmur.
Sekarang Abdullah memberanikan diri untuk bertanya, “Jika penyelenggara pemilihan umum masih menetapkan bahwa yang menang adalah pihak yang curang, itu bagaimana?”
“Aku yakin, jika mereka berani jujur, tidak mau dintervensi siapa pun, mereka akan selamat. Tapi jika tidak, mereka akan dilaknat oleh jutaan rakyat Indonesia. Akhirat menunggu mereka, ya jika mereka percaya dengan hari pembalasan di akhirat.” Jawab Makmur.
“Jika pihak yang curang masih menang?”
“Prakoso-Fandi dan pendukungnya akan mengawalnya di Mahkamah Konstitusi. Jutaan, bahkan ratus jutaan akan turun mengawasi persidangan. Akan memadati dan menghuni Ibu Kota, Jakarta. Yang di daerah-daerah akan ikut turun ke jalan. Massanya akan melebihi yang massa sewaktu di Monas dalam gerakan 212. Inysa Allah, itu akan terjadi.” Jawab Makmur dengan lebih semangat.
Makmur makin ganas menghisap rokoknya. Ia melampiaskannnya pada sebatang rokok. Akibat kencangnya hisapan, api rokoknya beradu membakar tembakau.
“Jika Prakoso-Fandi dan para pendukung tetap kalah. Kosong Satu dinyatakan menang. Jadi bagaimana?” Abdullah tidak pernah capek bertanya pada sahabatnya itu.
“Ratusan juta akan menolak dan tidak mengakui kemenangan itu.” Jawab Makmur dengan agak keras mematikan rokoknya ke dalam asbak yang ada di meja, sehingga terdengar suara secangkir kopi itu bergoyang. “Sekarang pertanyaannya, kau dari pihak golput akankah mau membantu?” Makmur bertanya balik.
“Insya Allah. Siap. Aku dan teman-temanku dari pihak golput akan ikut turun. Walau kami tidak memilih, tapi kami tidak akan membiarkan kecurangan, ketidak-adilan dan ketidak-jujuran tumbuh subur di negara pertiwi ini.” Jawab Abdullah dengan serius.
***
Setelah pertemuan itu, jutaan pendukung Prakoso-Fandi turun aksi menuntut supaya penyelenggara pemilihan umum jujur. Massa terus bertambah menjadi ratusan juta karena seluruh keluarga mereka ikut turun dan di tambah lagi dari pihak golput yang peduli pada keadilan demokrasi dan kejujuran demokrasi. Makmur dan Abdullah pun bagian dari The People Power. Dan aksi rakyat ini menjadi massa aksi terbanyak sepanjang sejarah dunia.
Setiap di kota-kota, dari daerah hingga pusat, tidak pernah berhenti dan sunyi gerakan kekuatan rakyat (People Power) yang menuntut kejujuran seluruh pihak yang terkait dalam pemilihan Presiden 2019 di Indonesia. Perhatian media yang pro keadilan dan kejujuran demokrasi tidak pernah berhenti memberitakannya. Bahkan media internasional pun turun jauh-jauh ke Indonesia. Bahkan menjadikan topik utama berita di negaranya. Miliaran manusia di seluruh benua membuka mata melihat kekuatan rakyat Indonesia yang peduli keadilan dan kujuran demokrasi.
Seluruh administrasi, perekonomian dan aspek lainnya menjadi lumpuh karena ratusan juta turun aksi. Massa aksi yang bergabung dalam People Power ini tidak pernah pulang ke rumah. Mereka terus di lapangan, jalan raya, di kantor-kator pemerintahan, hingga kantor penyelenggara pemilihan umum setiap tingkatan dan diberbagai tempat lainnya siap mengawal kejujuran dan keadilan dalam berdemokrasi. Bahkan di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) jutaan massa berkemah.
Kekuatan rakyat (People Power) Indonesia yang pro keadilan dan kejujuran demokrasi mendapat dukungan dari jutaan rakyat dari berbagai benua, dari Eropa, Amerika, Asia, Timur Tengah atau Afrika dan Australia. Kekuatan Rakyat (People Power) pun akhirnya menang.[]
Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).
Nb: Cerpen ini kutuliskan akibat kegaduhan demokrasi yang dikebiri. Demokrasi yang diperkosa oleh yang berbuat curang. Siapakah mereka yang curang itu, hanya mereka, Iblis, Malaikat dan Tuhan lah yang tahu. Cerpen ini kupersembahkan untuk seluruh pendukung Prakoso-Fandi, dan Kawan-kawan yang Golput.
Demikianlah Artikel The People Power, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan The People Power ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi The People Power ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.