Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain
Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
2018 !!
Afganistan !!
Gandhara !!
Sejarah Dunia !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
[Historiana] - Sengkuni adalah sosok tokoh pewayangan yang selama ini kita kenal. Ketokohannya yang cenderung antagonis hadir dalam kisah Mahabrata. Kisah Mahabrata dalam Kitab Weda ini dianggap sebagai kisah mitologi keagamaan. Namun, ternyata sosok sengkuni adalah sosok historis,
Sangkuni (Dewanagari: शकुनि; IAST: Śakuni) atau Saubala (patronim dari Subala) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu. Menurut Mahabharata, Sangkuni merupakan personifikasi dari Dwaparayuga, yaitu masa kekacauan di muka Bumi, pendahulu zaman kegelapan atau Kaliyuga.
Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. Ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.
Dalam kitab Mahabharata disebutkan bahwa Sangkuni merupakan pangeran dari kerajaan Gandhara pada masa pemerintahan Subala. Adik perempuannya yang bernama Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri Dretarastra, seorang pangeran tunanetra dari Hastinapura. Sangkuni marah atas keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut. Menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Karena telanjur terjadi, ia pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di istana Hastinapura. Gandari memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan selembar kain karena ia sangat setia kepada suaminya yang buta.
Gandari berputra seratus orang—dikenal sebagai seratus Korawa—yang sejak kecil diasuh oleh Sangkuni. Di bawah asuhan Sangkuni, para Korawa tumbuh menjadi anak-anak yang selalu diliputi rasa kebencian terhadap para Pandawa, yaitu putra-putra Pandu. Setiap hari Sangkuni selalu mengobarkan rasa permusuhan di hati para Korawa, terutama Korawa sulung yang bernama Duryodana.
Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sangkuni merupakan penasihat utama Duryodana, pemimpin para Korawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa.
Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni memerintahkan Purocana untuk menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha (Laksagraha), tempat para Pandawa bermalam di dekat hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.
Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Korawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa. Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryodana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sangkuni, ia mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sangkuni bertindak sebagai pelempar dadu Korawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit, harta benda para Pandawa jatuh ke tangan Duryodana, termasuk istana Indraprastha dan istri mereka, Dropadi.
Mendengar Dropadi dipermalukan di depan umum, Dewi Gandari ibu para Korawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryodana mendesak ayahnya, Dretarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang Pandawa sekali lagi. Drestarastra tidak kuasa menolak keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu. Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sangkuni. Sebagai hukuman, mereka harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup di dalam hutan dan begitulah seterusnya.
Gandhara di Afganistan
Kerajaan Gandhara muncul dalam kisah epik Mahabharata dan juga Ramayana. Raja Gandhara, Sangkuni, merupakan akar dari segala konspirasi mengenai pertentangan antara Duryodana dan para Pandawa, yang berakibat meletusnya perang di Kurukshetra. Dalam Mahabharata, kerajaan ini turut berpartisipasi dalam perang di Kurukshetra dan memihak Duryodana. Adik Sangkuni merupakan istri Dretarastra, yang dikenal sebagai Gandari. Kerajaan Gandhara (Gandhara Barat) berada di wilayah provinsi Kandahar di Afganistan. Gandhara Timur berada di wilayah Pakistan. Puskalawati, Takshasila (Taxila) dan Purushapura (Peshawar) merupakan kota di Kerajaan Gandhara. Takshasila didirikan oleh adik Rama Ragawa — Barata. Kemudian keturunan Barata memimpin kerajaan tersebut. Selama zaman Mahabharata, Gandhara dipimpin oleh Subala (ayah Sangkuni), Sangkuni, dan putera Sangkuni. Arjuna mengalahkan putera Sangkuni selama misi berkampanye untuk upacara Aswamedha Raja Yudistira.Gandhāra (bahasa Pashtun: ګندارا, bahasa Urdu: گندھارا, bahasa Sanskerta: गन्धार) adalah kerajaan kuno di wilayah India Barat, tepatnya di lembah sungai Swat dan Kabul serta Dataran Tinggi Pothohar, kini wilayah Pakistan utara dan Afganistan timur. Kota utamanya adalah Purushapura (kini Peshawar), secara harfiah bermakna "kota para manusia", dan Takshashila (kini Taxila).
Kerajaan Gandhara berlangsung sejak Periode Weda (sekitar 1500-500 SM) hingga abad ke-11 M. Kerajaan ini menjadi pusat seni rupa Buddha, yang mencapai puncaknya pada kurun abad pertama masehi sampai abad ke-5 M pada masa pemerintahan raja-raja Kushan. Sejarawan Al-Biruni menyebut kerajaan ini dalam nama Persianya "Shahi"[4] untuk menyebutkan wangsa penguasa[5] dari Kabul Shahi yang menguasai wilayah ini sebelum penaklukan Muslim pada abad ke-10 dan ke-11 M. Setelah ditaklukan oleh Mahmud dari Ghazni pada 1021 M, nama Gandhara lenyap. Pada masa pemerintahan Muslim, kawasan ini diperintah dari Lahore atau Kabul. Pada masa Mughal kawasan ini termasuk dalam provinsi Kabul.
Asal-usul Nama Gandhara
Nama Gandhara mungkin memiliki beberapa arti, secara teori yang paling menonjol mengaitkan namanya dengan kata Qand / Gand yang berarti "keharuman" dan Har yang berarti "tanah" maka definisi paling sederhana adalah 'Tanah Wewangian'. Namun, ketika dianalisis secara kritis, wilayah yang dikenal sebagai inti Gandhara di sekitar lembah Peshawar secara historis tidak memiliki hubungan atau kepentingan yang dapat diverifikasi secara historis terkait dengan aroma, baik melalui bunga, rempah-rempah, makanan, dll.
Teori lain yang lebih mungkin dan didukung secara geografis adalah bahwa kata Qand / Gand berevolusi dari Kun yang berarti 'baik' atau 'genangan air' dan memang kata Gand muncul dengan banyak nama tempat lain yang terkait dengan air yaitu Gand-ao atau Gand- ab (kolam air) dan juga Gand-Dheri (gundukan air). Tashkand (batu berdinding kolam) dan Yarkand juga nama terkait dan karenanya memegang alasan bahwa tanah itu bisa dikenal sebagai 'Tanah Danau' karena ini menandakan wilayah antara sungai Indus dan Kabul yang subur wilayah yang kaya akan pasokan air dan terutama di sekitar Peshawar.
Riwayat Politik Gandhara
Gandhara menyaksikan pemerintahan beberapa kekuatan besar zaman kuno seperti yang tercantum di sini:- Achaemenids (~ 600-400 SM)
- Yunani (~ 326-324 SM),
- Mauryans (~ 324-185 SM),
- Indo-Yunani (~ 250-190 SM),
- Scythians (~ abad ke-2 hingga abad ke-1 SM),
- Parthians (~ abad ke-1 SM hingga abad ke-1 M),
- Kushan (~ abad 1 s / d 5),
- White Hun (~ abad ke-5)
- Hindu Shahi (abad ke-9 hingga 10).
Lihat juga videonya
Gandhara di Bawah Kekuasaan Achaemenids & Alexander
Darius saya memasukan Gandhara ke dalam Kekaisaran Achaemenid sekitar tahun 556 SM tetapi pendudukannya tidak berlangsung lama. Kemudian ia dikenal sebagai negara bagian anak-anak Achaemenids (dikenal sebagai satrapy = propinsi) dan kemudian membayar upeti kepada Alexander Agung yang akhirnya menaklukkannya (bersama dengan sisa kerajaan Achaemenian). Hegemoni Achaemenian di Gandhara berlangsung dari abad ke-6 SM hingga tahun 327 SM.Alexander dikatakan telah melintasi daerah yang disebut Gandhara untuk masuk ke Punjab (karena memang wilayah ini masih digunakan hari ini untuk fungsi yang sama) dan dia ditawarkan masuk persekutuan oleh penguasa Taxila Ombhi, untuk melawan raja Porus, yang merupakan sumber agitasi selama ini terhadap Taxila dan daerah sekitarnya. Selanjutnya terjadi pertempuran yang disebut Battle of Hydaspes dalam sejarah kuno Gandhara. Meskipun demikian, Alexander tinggal di Gandhara secara singkat dan ia pergi ke selatan melalui Sungai Indus dan menyeberang ke Balochistan pada perjalanan pulang.
Alexander meninggalkan populasi orang Yunani yang cukup besar di setiap wilayah yang ia taklukkan dan termasuk di Gandhara, dengan para pengrajin, tentara, dan pengikut lainnya didorong untuk menikah dan berbaur dengan penduduk setempat dan membawa mereka buah peradaban Yunani. Ketika Alexander meninggal pada Juni tahun 323 SM, pasukan Yunani pendudukannya, putus asa dan ingin kembali ke kampung halamannya, memulai perjalanan kembali seraya mengabaikan perintah untuk tinggal di wilayah tersebut dan ini meninggalkan sebuah kevacuman besar atas pasukan pendudukan Yunani yang sudah tersebar di Gandhara. Meskipun demikian, cukup banyak pusat-pusat Yunani diciptakan di wilayah itu untuk mempengaruhi sejarahnya selama berabad-abad mendatang.
Gandhara di Bawah Kekuasaan Mauri
Pada tahun 316 SM, Raja Chandragupta dari Magadha (321-297 SM) pindah dan menaklukkan Lembah Indus, sehingga mencaplok Gandhara dan menamai Taxila sebagai ibukota provinsi Kekaisaran Maurya yang baru terbentuk. Chandragupta digantikan oleh putranya Bindusara, yang digantikan oleh putranya Ashoka (yang sebelumnya menjadi gubernur Taxila). Ashoka terkenal menyebarkan penyebaran agama Buddha, dan menciptakan sebuah biara agung di sebelah timur sungai Tamra di Taxila. Ini adalah Biara Dharmarajika, terkenal dengan stupa, dan dikatakan Ashoka mengubur beberapa peninggalan Buddha di sana. Namun kerajaan Mauryan hancur setelah kematian Ashoka dan Gandhara lagi-lagi diperebutkan.Gandhara Di Bawah Kekuasaan Indo Yunani
Pada tahun 184 SM, orang-orang Yunani (yang tetap kuat di Baktria, Afghanistan Utara), menyerang Gandhara di bawah raja Demetrius dan dialah yang membangun sebuah kota baru di seberang sungai dari Bhir Mound. Inkarnasi baru Taxila ini sekarang dikenal sebagai Sirkap (yang berarti 'kepala yang terputus') dan dibangun sesuai dengan rencana Hippodamaean mengikuti pola lapangan hijau.Kerajaan Demetrius terdiri dari Gandhara, Arachosia (Kandahar di Afghanistan), Punjab, dan bagian dari Lembah Gangga. Wilayah ini terdiri dari masyarakat multi-etnis, di mana terdapat orang-orang Yunani, India, Baktria, dan Iran Barat yang hidup bersama. Bukti ini ditemukan di seluruh abad ke-2 SM di Taxila, seperti tempat suci Zoroastrian di Jandial, tepat di utara Sirkap.
Gandhara Di Bawah Kekuasaan Scytho-Parthian
Pengambilalihan bertahap Punjab oleh kaum nomad Scythians dari Asia Tengah dimulai sekitar tahun 110 SM. Suku-suku ini telah terbiasa menyerang wilayah utara seperti yang ada di Bactia, seperti yang dilakukan oleh Achaemenids di masa lalu. Mereka telah menetap di Drangiana, Sistan modern di Iran dan menyerbu Punjab, menyusup melalui Lembah Indus selatan, akhirnya mengambil alih Taxila.Pada kuartal pertama abad ke-1 M, orang-orang Parthia pindah dan mulai mengambil alih Kerajaan Petty Yunani di Gandhara dan Punjab. Gondophares, seorang pemimpin Parthia yang tinggal di Taxila dikatakan telah dibaptis oleh rasul Thomas, bukan klaim yang sepenuhnya tidak mungkin karena kota tersebut telah menjadi tuan rumah sejumlah agama dan mungkin telah mengakomodasi seorang Kristen yang baru.
Gandhara Di Bawah Kekuasaan Kushan
Pada tahun 80 Masehi, orang-orang Kushan merebut kendali Gandhara dari Scytho-Parthians. Kota utama di Taxila kembali didirikan di situs lain dan diberi nama baru yang diberikan Sirsukh. Wilayah yang mirip pangkalan militer besar, dengan dinding sepanjang 5 km dan tinggi 6 meter. Sekarang menjadi pusat kegiatan Buddha, dan menjadi tuan rumah para peziarah dari Asia Tengah dan Tiongkok. Era Kekuasaan Bangsa Kushan (Kushana) adalah titik tertinggi perkembangan seni, arsitektur dan budaya Gandhara dan dianggap sebagai masa keemasan dalam sejarah kawasan ini. Suku Kushan adalah suku yang bermigrasi ke Gandhara sekitar abad ke-1 dari Asia Tengah dan Afghanistan. Suku ini memilih Peshawar sebagai pusat kekuasaannya dan kemudian memperluas wilayah timurnya ke jantung India untuk mendirikan Kekaisaran Kushan, yang berlangsung hingga abad ke-3.Filsuf Yunani Appolonius dari Tyana juga mengunjungi kota Taxila dan membandingkan ukurannya dengan Niniwe di Asyur. Deskripsi Taxila (mungkin Sirsukh) dapat ditemukan dalam Kehidupan Appolonius Tyana oleh penulis Philostratus:
Saya telah menjelaskan di mana kota ini berdinding, tetapi mereka mengatakan bahwa kota itu terbagi menjadi jalan-jalan sempit dengan cara yang tidak biasa seperti di Athena, dan bahwa rumah-rumah dibangun sedemikian rupa sehingga jika Anda melihatnya dari di luar mereka hanya memiliki satu lantai, sementara jika Anda masuk ke salah satu dari mereka, Anda segera menemukan kamar-kamar bawah tanah memanjang jauh di bawah tanah seperti yang dilakukan ruangan-ruangan di atas. (Philostratus, Life of Apollonius, 2.23; tr. F.C. Conybeare)Akhir kekuasaan Kushan melihat suksesi dinasti yang berumur pendek mengambil alih kendali wilayah Gandhara, dan ini menghasilkan situasi di mana wilayah itu terus-menerus bergejolak, diserang atau dalam situasi kekacauan. Pergantian cepat pemerintahan oleh Sassanid, Kidarit (atau Kushan kecil) dan akhirnya Bangsa Hun menyebabkan surutnya kekuasaan Kushan dalam kegiatan keagamaan, perdagangan, dan sosial sehari-hari terhenti.
Sekitar tahun 241 M, orang Kushan dikalahkan oleh orang-orang Sassania dari Persia di bawah kerajaan Shahpur 1 dan Gandhara dianeksasi ke dalam Kekaisaran Persia. Namun, Sassanian tidak dapat secara langsung memerintah wilayah tersebut karena dikenai pajak di perbatasan barat dan utara mereka dan kontrol atas wilayah ini jatuh ke keturunan Kushan sebelumnya yang kemudian dikenal sebagai Kidarites atau Kidar Kushans yang secara harfiah berarti Kushan kecil.
Gandhara di Bawah Kekuasaan Bangsa Hun
Kidarites berhasil mempertahankan suatu wilayah, membawa tradisi para pendahulu mereka, Kushan hingga pertengahan abad ke-5 M ketika bangsa Hun atau Hephthalites, menginvasi wilayah tersebut. Karena agama Buddha dan dengan perluasan budaya Gandhara sudah surut saat itu, invasi tersebut menyebabkan kerusakan fisik dan, karena mengadopsi kepercayaan bangsa Hun yakni kepercayaan Shivite (terutama penguasa mereka Mihirakula) dan dengan perluasan budaya Kerajaan Hindu Gupta yang pada saat itu adalah sebagai simbol kekuasaan, posisi agama Buddha mulai berkurang dengan cepat.Selama invasi Bangsa Hun, karakter agama di wilayah itu bergeser secara bertahap menuju Hinduisme dan Buddhisme dijauhi demi Hinduisme karena dianggap secara politis oleh penguasa Bangsa Hun karena mereka berusaha membuat aliansi dengan Kekaisaran Gupta Hindu melawan Sassaniyah. ke arah barat. Perubahan dalam karakter agama (yang merupakan dasar dari semua kehidupan sosial) menyebabkan penurunan kemakmuran wilayah Gandhara secara keseluruhan.
Aliansi Bangsa Hun (White Hun) dengan Kekaisaran Gupta melawan orang-orang Sassania juga menyebabkan budaya Buddhisme ditaklukkan sampai-sampai akhirnya agama berpindah ke utara melalui jalur utara ke China dan seterusnya. Hinduisme kemudian mengambil alih wilayah dan orang-orang pindah dari sini, karena beberapa abad yang tersisa melihat invasi konstan dari barat, terutama penaklukan Muslim, yang memungkinkan tidak ada budaya yang menonjol untuk dikembangkan atau dipertahankan sepanjang sejarah kuno. Kota-kota tua dan tempat-tempat pemujaan yang penting maka jatuh dari memori untuk 1500 tahun berikutnya sampai mereka ditemukan kembali di pertengahan 1800-an oleh pasukan kolonial Inggris.
Gandhara, kemudian, telah memiliki banyak penguasa selama berabad-abad tetapi bukti arkeologis menunjukkan kepada kita keseragaman tradisi kulturalnya bertahan selama perubahan dalam aturan ini. Meskipun wilayahnya tersebar di wilayah yang luas, batas-batas budaya daerah seperti Mathura dan Gandhara didefinisikan dengan baik dan memungkinkan kami untuk mengidentifikasinya secara unik hari ini.
Seni Gandhara
Awal dari tradisi artistik Gandhara dapat ditelusuri hingga ke abad ke-1 SM dengan berkurangnya tradisi yang terjadi kira-kira pada abad ke-8 dan termasuk lukisan, patung, koin, tembikar dan semua elemen yang terkait dari tradisi artistik. Itu benar-benar mengambil penerbangan selama era Kushan dan khususnya Raja Kanishka selama abad ke-1 M yang mendewakan Sang Buddha dan bisa dibilang untuk pertama kalinya memperkenalkan patung Buddha yang kemudian menjadi begitu produktif untuk mendefinisikan seluruh budaya Gandhara. Ribuan gambar-gambar ini diproduksi dan tersebar di setiap sudut dan celah wilayah mulai dari buddha kecil hingga patung monumental raksasa yang dipasang di tempat-tempat ibadah yang paling sakral.Patung Buddha dari Taxila, Gandhara. Skist abu-abu biru. Abad ke-1. (Museum Seni Asia, Corfu) |
Bahan yang digunakan adalah batu kanjur dengan plester dan cat atau batu Schist. Kanjur pada dasarnya adalah batu fosil yang dapat dengan mudah dibentuk menjadi bentuk yang digunakan sebagai dasar untuk berbagai elemen dekoratif dalam seni Gandharan seperti pilaster, patung Buddha, tanda kurung dan elemen lainnya. Setelah bentuk dasar telah dipotong dari batu, ini kemudian diplester dengan plester kapur untuk memberikan tampilan selesai. Daun emas dan permata berharga juga diterapkan untuk memilih barang-barang performa hebat dan kualitas karya seni bervariasi tergantung pada penggunaannya. Ukuran maksimum batu sekis yang bisa dibuat menjadi 2,5m persegi agar mudah diangkut dan karenanya patung-patung yang lebih besar dan relief terbuat dari tanah liat dan plesteran.
Sang Buddha disembah melalui representasi pahatan ini yang memiliki gaya khas yang terkait dengan mereka yang sebagian besar tetap konstan dengan beberapa perubahan karena keterampilan atau kerajinan yang dilihat. Sang Buddha selalu digambarkan dalam jubah monastik sederhana, dengan rambutnya diikat dalam sanggul yang dikenal sebagai Ushnisha dan ekspresi di wajahnya hampir selalu salah satu isinya. Padahal awalnya patung-patung ini dicat dengan warna-warna cerah, sekarang hanya gips atau batu yang tersisa dan hampir tidak ada item yang ditemukan dengan warna asli mereka utuh. Berbagai gambar kultus Sang Buddha dibuat untuk berbagai kultus di wilayah yang semuanya memiliki ciri-ciri identifikasi mereka sendiri yang berbeda yaitu Laksana (tanda ilahi), Mudra (gerakan tangan) dan berbagai jenis jubah.
Apapun masalahnya, Buddha selalu memiliki peran sentral dalam potongan-potongan ini dan dapat segera diidentifikasi oleh lingkaran cahaya dan pakaiannya yang sederhana. Banyak tokoh mitologis juga dilihat sebagai bagian dari adegan ini bersama dengan pasangan, dewa, dewa, selestial, pangeran, ratu, penjaga laki-laki, penjaga perempuan, musisi, pendeta kerajaan, tentara dan juga orang biasa. Lebih dari itu, kesenian Gandharan menciptakan kembali adegan-adegan ini sedemikian rupa sehingga unsur-unsur arsitektur dan barang-barang penggunaan sehari-hari seperti tempat tidur dan vas bunga dll. Dapat dilihat dengan jelas di dalamnya dan juga memberikan pandangan sekilas ke dalam budaya bangunan zaman kuno. Seni Gandharan dapat memberi kita wawasan tidak hanya satu aspek dari kehidupan kuno di wilayah ini tetapi juga keseluruhan kehidupan sehari-hari seorang Buddha kuno.
Salah satu unsur seni Gandharan yang paling abadi selain Sang Buddha adalah Bodhisattva, yang pada dasarnya adalah keadaan Sang Buddha sebelum mencapai pencerahannya. Beberapa Bodhisattva dari berbagai kehidupan sebelumnya Sang Buddha digambarkan dalam seni Gandharan dengan Avalokatishvara, Matrya, Padmapani dan Manjsuri menjadi menonjol. Dibandingkan dengan kesederhanaan gambar Buddha, patung-patung dan gambar Bodhisattva menggambarkan tingkat kemewahan yang tinggi dengan banyak variasi pada berbagai elemen seperti perhiasan, hiasan kepala, cawat, sandal dan sebagainya dan berbagai inkarnasi Bodhisattva dapat dikenali dari mereka. pakaian dan postur, sebagian besar dari tangan di tujuh mudra.
Arsitektur Gandhara
Banyak yang dapat dikatakan tentang tradisi arsitektur Gandhara tetapi karakteristik yang paling menonjol dan unik dari itu adalah proliferasi stupa dan pendirian agama terkait lainnya seperti biara yang membentuk inti dari identitas daerah selama hampir 1000 tahun.Stupa dibangun terutama untuk penghormatan sisa-sisa guru Buddha dan yang paling penting memegang sisa-sisa Buddha itu sendiri. Di samping Buddha, para bhikkhu tinggi juga dihormati dengan memiliki stupa-stupa yang dibangun untuk mereka dan bangunan-bangunan ini juga menandai tempat-tempat di mana peristiwa-peristiwa legendaris tertentu yang terkait dengan berbagai kehidupan Buddha dikatakan telah terjadi. Berkembangnya stupa-stupa di seluruh India dikatakan telah menjadi ciri khas dari aturan Asoka yang menguburkan kembali abu Buddha di beberapa stupa di seluruh kerajaannya.
Meskipun itu terutama merupakan prestasi arsitektural, stupa tetap merupakan wadah untuk menampilkan dan memuja seni Gandharan yang produktif, meliputi patung, relief, lukisan dan elemen lain yang sangat dihiasi yang membungkus struktur dan menambahkan sangat tidak hanya keindahannya tetapi pemujaannya sebagai situs religius. Gambar-gambar ini berdiri di dinding, di pengadilan, di dalam relung dan kapel dan plesteran menghiasi dinding stupa pengadilan dan biara-biara.
Stupa awalnya dibangun dengan basis melingkar dan berukuran sedang, tetapi karena kultus Buddha tumbuh penting di wilayah ini, pusat ibadah ini dirancang dengan rumit dan dihias untuk meningkatkan status agama dan untuk menarik lebih banyak jamaah. Stupa asli di Kunala dan Dharmarajika adalah urusan kecil yang kemudian diperluas ke proporsi besar oleh penguasa seperti Asoka dan Kanishka.
Stupa |
Kematian Sengkuni
Kembali ke kisah Mahabarata. Pada hari terakhir Baratayuda, Sangkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh minyak tala bahkan sempat membuat Bima sulit mengalahkan Sengkuni. Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sangkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena pengaruh minyak tala. Bima pun maju kembali. Sangkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima. Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sangkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sangkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.Pada sore hari itu, Bima berhasil mengalahkan Duryodana, pemimpin seratus Korawa. Dalam keadaan sekarat, Duryodana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sangkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryodana. Duryodana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati. Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryodana.
Referensi
- "Ancient Gandhara Kingdom (Kandahar Afganistan)" bookfact.com Diakses 6 September 2018
- "Gandhara Civilization - Ancient History Encyclopedia" ancient.eu Diakses 5 September 2018
- Dani, A.H. The Historic City Of Taxila. (Sang-e-Meel Publications, Lahore, 1999). Marshall, J. A Guide to Taxila. (Cambridge University Press, 2013).
- Saleem-ul-Haq, B.S, "Gandhara : A Buddhist School of Art," Journal of Asian Civilizations Vol 20, No 1, July 1st 1997: 151-168.
- Shaikh Khurshid Hasan. Buddhist Architecture of Gandhara. (Institute of Historical and Cultural Research, Center of Excellence, Islamabad, 2013)
Demikianlah Artikel Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Sengkuni dari Gandhara Afganistan | Belajar dari Sejarah Bangsa Lain ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.