-->

Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.)

Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.) - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.) !! Semoga tulisan singkat dengan kategori 2018 !! Sejarah Nusantara !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.) ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->



[Historiana] - Pelestarian Bangunan Keagamaan Pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.) dari Kerajaan Matarām Kuno.. Tulisan ini disadur dari karya Yogi Pradana, Tenaga Ahli Cagar Budaya, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tulisan karya Yogi Pradana ini dimuat pada Jurnal "AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74"

Sumber-sumber rujukan utama dari prasasti-prasasti. Prasasti dapat dilihat tidak hanya sebagai media penyampai pesan tekstual, karena pada hakikatnya merupakan produk bendawi dari kegiatan manusia masa lampau yang masuk dalam kategori artefak (Kusumohartono 1994, 17). Berdasarkan gagasan tersebut, prasasti dapat diartikan sebagai salah satu artefak berbentuk keputusan resmi yang dikeluarkan oleh penguasa atau raja yang berisi pengumuman, peraturan dan perintah. Hampir seluruh prasasti Jawa Kuno yang ditemukan berisi tentang penetapan sīma yang diberikan untuk orang yang berjasa, baik kepada raja maupun sīma untuk menunjang bangunan keagamaan (Darmosoetopo 2003, 11). Meskipun demikian, ada sejumlah kecil prasasti yang berisi tentang jayapattra atau masalah hukum (Boechari 1977, 4) dan anugerah raja atau penguasa berupa hadiah barang kepada para pendeta (Darmosoetopo 2003, 91).

Bangunan keagamaan pada masa Jawa Kuno diperuntukkan bagi keperluan ibadah atau pemujaan. Oleh karena itu, bangunan keagamaan ini perlu dijaga kelestariannya melalui kegiatan pelestarian. Pengertian pelestarian pada masa sekarang berbeda dengan pelestarian pada masa lalu. Perbedaan tersebut terletak pada pengertian pelestarian yang didefinisikan sebagai usaha untuk melakukan perawatan agar suatu objek bisa bertahan dan tidak mengalami perubahan (Pusat Bahasa 2008, 820). Ketika masih digunakan, suatu bangunan bisa saja mengalami perubahan atau perbaikan. Oleh karena itu, tulisan ini tidak mengacu pada pengertian pelestarian pada masa sekarang.

Informasi mengenai bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada masa Matarām Kuno banyak terdapat dalam prasasti meskipun jarang ada yang menyebutnya secara langsung.

Penguasa memiliki peran sentral dalam upaya melestarikan bangunan keagamaan yang mereka dirikan. Prasasti Wanua Tengah III yang dikeluarkan pada tahun 908 Masehi (Kusen 1988, 18 dan Darmosoetopo 2003, 41) menyebutkan bahwa Rahyangta i Hara adik Rahyangta i Mḍang (Sang Ratu Sañjaya) telah membangun biara (bihāra) (tempat tinggal biksu) dalam kompleks bangunan keagamaan Buddha di Pikatan, juga menyiapkan sawah yang hasilnya digunakan untuk membiayai keperluan upacara dan pelestarian dalam bangunan keagamaan.

Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908 M) juga ada pernyataan yang menyebutkan bahwa Śrī Mahārāja Rake Watukura Dyaḥ Balitung mengeluarkan kebijakan penting terkait dengan keberadaan dan kelestarian bangunan keagamaan di wilayah kerajaannya. Kebijakan itu dimaksudkan untuk menghidupkan kembali status semua bihāra (biara) di seluruh Jawa sebagai daerah swatantra. Dengan kata lain, semua biara itu diberi kebebasan penarikan pajak, yang berarti dana yang dihasilkan dari tanah punpunan, yaitu tanah sīma yang diperuntukkan khusus untuk bangunan keagamaan dapat digunakan untuk keperluan pelestarian bangunan keagamaan. Selain punpunan dijumpai pula tanah aṅśa yang merupakan tanah yang diperuntukkan bagi bangunan keagamaan tetapi letaknya jauh dari bangunan keagamaannya, istilah anśa baru muncul pada masa sesudahnya (abad ke-11) sampai pada masa keemasan Kerajaan Majapahit (Boechari 1980, 277; Jones 1984, 78). Keterangan tentang status semua biara di Jawa pada masa itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:

II.6-7 “…ajña nira kumonakan sang hyang dharmma bihāra i jawa kabeḥ swatantra umaryya kadandan…” (=…perintahnya menyuruh semua sīma untuk bangunan keagamaan bihāra di Jawa statusnya dihidupkan kembali (sebagai swatantra) (Darmosoetopo 2003, 41).

Berdasarkan informasi yang terdapat dalam prasasti ini, Raja Balitung diasumsikan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian bangunan keagamaan. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: (1) Apa saja bentuk kebijakan pelestarian terhadap bangunan keagamaan yang telah dilakukan? (2) Apa tujuan penguasa tersebut membuat kebijakan pelestarian itu? (3) Bagaimana posisi para penguasa tersebut secara birokrasi terkait dengan kebijakan pelestarian terhadap bangunan kegamaan yang mereka lakukan?

Raja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung mengeluarkan banyak prasasti pada masa pemerintahannya (898-910 M). Diantara prasasti-prasasti tersebut, terdapat beberapa prasasti yang memuat keterangan yang berkaitan dengan kelestarian bangunan keagamaan.
Prasasti masa Raja Balitung (898-910 M) yang dijadikan sebagai data dalam penelitian ini memperlihatkan perbedaan penyebutan usaha pelestarian bangunan keagamaan. Penyebutan mengenai pelestarian terhadap bangunan keagamaan ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penyebutan secara tersurat dan penyebutan secara tersirat. Penyebutan tersurat diketahui dari kalimat atau kata yang dituliskan pada kalimat prasasti dan penyebutan anugerah yang disebut sebagai sīma punpunan. Sīma punpunan merupakan anugerah sīma pada sebidang tanah pada sebuah desa untuk mendukung kelestarian bangunan keagamaan (Jones 1984, 78).


1 Penyebutan Tersurat

Penyebutan tersurat adalah isi dari kalimat dalam prasasti yang memberikan indikasi tentang usaha pelestarian bangunan keagamaan. Tidak ada standardisasi pasti untuk membedakan jenis penyebutan pelestarian bangunan keagamaan.

Pengelompokan ini untuk memudahkan pengidentifikasian bentuk pelestarian yang tampak dalam data prasasti, Berikut ini istilah yang dipakai dalam prasasti masa Raja Balitung yang berhubungan dengan pelestarian:

a. Makmitan

Kata makmitan memiliki arti ‘memelihara’, makmitan dalam beberapa prasasti disebutkan untuk menerangkan upaya pemeliharaan yang dilakukan pada bangunan keagamaan maupun tanah sīma. Untuk bangunan keagamaan disebut makmitan dharmma, sedangkan untuk sīma disebut makmitan sīma. Berikut adalah kutipan kalimat dari prasasti yang menyebutkan kata tersebut:
Prasasti Telang I (903 M)

I.5-6 “…wusan makakmitan ikanaŋ kamulān mu°aŋ parahu. umantassakna saŋ mahawān pratidina paṅguhanya mas mā 7 pasaŋ niŋ kalaŋ mā 2 piṇḍa mā 9 iŋ satahun. paknānya... mu°aŋ parāna °i maṅkmit kamulān…” (=[yang termasuk wilayah Hu] wusan untuk menjaga kamulān dan perahu. [Sebagai imbalan] menjaga perahu dan menyeberangkan pejalan kaki setiap hari [mereka] akan menerima bayaran senilai 7 māsa emas disatukan dengan dari kalang 2 māsa [emas], jumlahnya 9 māsa [emas] dalam setahun. [Penduduk] yang dikenakan [untuk .....] dan parana kepada penjaga kamulān (Nastiti 2015, 27-28). Prasasti Watukura I (902 M)

IIIb. 1-2. “…i bhatāra dharmma. çesanya. maraha i saŋ karmmanya. mamūja. upakalpa. dewakarmma. anapū. dewadāsa. pasiṅhir. sahana saṅkarmma kummit bhatāra makadrwya ya…”(=…di bhatāra dharmma sisanya diberikan ke sang karmmanya untuk memuja mempersiapkan upacara, upacara untuk dewa, menyapu, pemelihara bangunan keagamaan pejabat keagamaan, sang karma yang memelihara seluruh bangunannya (bhātara) sebagai kerja baktinya (Wuryantoro 2011, 130).

Prasasti Samalagi (910 M)
3-4.“…dharmma rakryān mahāmantri. Gawainya mā…sawaḥnya lamwit…(hu…n tampaḥ 1 ka…ḥ) 2 pinḍah sawaḥ kmittanni rāma i samalagi…”(=…dharmma rakryān mahāmantri. Kerjanya mā sawahnya mmiliki luas lamwit…… (hu…n tampaḥ 1 ka…ḥ) 2 jumlah sawah yang dikelola oleh rāma di Samalagi…(Boechari 2012, 479).

b. Rumakṣa

Kata ini berasal dari kata dasar rakṣa yang berarti ‘jaga’, dengan ditambah sisipan um. Karena sisipan ini bersifat aktif maka arti kata ini seharusnya menjadi ‘menjaga.’ Berikut ini adalah kutipan kalimat dalam prasasti Taji (901 M) yang menyebutkan kata ini:

VIIa. 3-4.“…kasusukan nikanaŋ kabikuan riŋ dewasabhā muaŋ sīmānya de rakryān ri watu tihaŋ pu saŋgrāma dhurandhara winehakanira ya ri anaknira anakbi samgat dmu(ŋ) pu cintyā rake śrī bhāru dyaḥ dhetā. sira rumakṣā saŋ hyaŋ dharmma…”(=…dibatasilah kabikuan di Dewasabha itu dan (juga) sīma-nya oleh Rakryān ri Watu Tihaŋ Pu Saŋgrāma Dhurandhara diberikan kepada anaknya istri dari Samgat Dmu(ŋ) Pu Cintyā yaitu Rake Śrī Bhāru Dyaḥ Dhetā. dialah yang menjaga (bangunan keagamaan) saŋ hyaŋ dharmma…(Boechari 1985/86, 42).

c. Umiwia
Kata umiwia juga memiliki arti ‘memelihara’, dalam prasasti Rukam (907 M) kata ini muncul untuk menerangkan pemeliharaan lima bangunan keagamaan yang dilakukan oleh warga Desa Rukam dengan dipimpin oleh ketiga rāma di daerah itu. Kutipan prasastinya adalah:

1.3-4. “…sīmān rakryān sañjīwana nini haji maṅasīa i dharmma nira i limwunŋ muaŋ pagawayana kamulān paṅguḥhannya pirak dhā 5 piliḥ mas mā 5 marā i parhyaṅan i limwuŋ buñcaŋ hajyanya umiwia ikanaŋ kamulān…” =…dijadikan daerah perdikan bagi neneknya raja, yaitu Rakryān Sañjīwana dan hendaknya dipersembahkan kepada dharmmanya (Rakryān Sañjīwana) di Limwung dan hendaknya membuat kamulān (di Rukam). Pendapatan (daerah Rukam yang berjumlah) 5 dhārana perak dan 5 māsa pilih mas, (supaya) diberikan untuk pemeliharaan parhyaṅan yang terletak di Limwung, sebagai buñcang hajinya adalah memelihara kamulān tersebut… (Nastiti et al. 1982, 23-26 dan 36-40).

d. Byapāra

Kata byapāra memiliki arti ‘mengurusi/ melayani’. Kata byapāra atau wyaparā juga diidentifikasikan sebagai jabatan dari seseorang yang mempunyai tugas memelihara bangunan keagamaan dari kerusakan (Setianingsih 1991, 6). Satu-satunya prasasti masa Balitung yang menyebutkan kata byapāra adalah prasasti Watukura (902 M), berikut ini kutipan kalimatnya:

IIIa.1.“…nāhan kweh ni rāmanta i watukura tumarima ikanāŋ mās panīma saṅke haji muaŋ milu sumusuk ikanāŋ dharmma ika ta kabeh kapwa byapāra i bhatāra dharmma i watukura…”(Wuryantoro 2011, 129)(=…demikian banyaknya kepala desa di Watukura yang menerima uang emas untuk melaksanakan upacara penetapan sīma dari raja dan ikut membatasi atau menetapkan bangunan keagamaan itu semuanya adalah pemelihara bangunan keagamaan di Watukura…

e. Sīma Punpunan

Penyebutan ini tercantum dalam empat prasasti pada masa Raja Balitung, berikut kutipan kalimatnya:
Prasasti Sangsang I (907 M)

1.6.“…inanugrahān kinon sumusuka i kanaŋ wanua i saŋsaŋ simā punpunnana nikanaŋ wiharā…” (van Naerssen 1937, 442)(=dianugerahi untuk membatasi desa sangsang menjadi simā punpunan bagi wiharā itu…)

Prasasti Samalagi
3. “…i samalagi…susukên sīmā punpunanai bhaṭāra waiṣṇawa iŋ bulusan dharmma rakryān mahāmantrī. Gawainya mā…”(=…di samalagi.. ditetapkan atau dibatasi (sebagai) sīmā punpunan untuk bangunan suci bagi kelompok pemuja dewa wisnu (bhaṭāra waiṣṇawa) di bulusan yang merupakan kebaikan (dharmma) dari rakryān mahāmantrī. baktinya…māsa (mā)…).

2 Penyebutan Tersirat

Ada 11 prasasti yang secara tidak langsung atau tersirat usaha pelestarian bangunan keagamaan (kutipan prasastinya tercantum dalam Tabel 2.). Usaha untuk melestarikan bangunan keagamaan secara tersirat pada umumnya berisi pemberian sebuah tanah sīma untuk bangunan keagamaan. Tanah yang ditetapkan menjadi sīma adalah tanah yang bebas dari pungutan pajak kerajaan. Sebagai gantinya, hasil dari tanah tersebut diperuntukkan bagi bangunan keagamaan untuk mendukung kelestarian atau keberadaan bangunan keagamaan (Boechari 2011, 280).


Bentuk Pelestarian Bangunan Keagamaan

1 Perawatan dan Perlindungan

Sebagai tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan keagamaan, bangunan keagamaan perlu dijaga dan dirawat dengan baik agar tetap lestari.

Bangunan keagamaan perlu dijaga keamanannya dari berbagai ancaman yang mengganggu keberadaan dan kegiatan yang terjadi pada bangunan keagamaan. Sebagai contoh pada masa Matarām Kuno dalam Prasasti Śiwagṛha (856 M) memberikan keterangan mengenai kemungkinan adanya peristiwa pencurian pada suatu bangunan keagamaan,

19.“…ista kariḥ dwarapalā weh dadi matakut maling ta kumaling waruhheriṅ alap grhahayu ning hyaṅ…”(=…arca dwarapala ditempatkan untuk menakuti pencuri yang mencuri (menganggu) keindahan bangunan keagamaan milik dewa…(Casparis 1956, 313).

Kutipan prasasti Śiwagṛha di atas menunjukkan upaya mencegah tindakan pencurian dengan menempatkan arca dwarapala yang biasanya ditempatkan pada pintu masuk sebuah bangunan keagamaan. Pada masa Balitung, kebijakan tentang usaha menjaga keamanan bangunan keagamaan diwujudkan dengan membangun kamulān. Bangunan ini merupakan bangunan yang diperuntukkan bagi penjaga keamanan, dan biasanya berkaitan dengan keamanan jalan raya atau sarana penyeberangan (tambangan) pada masa Jawa Kuno (Darmosoetopo 2003, 104-106, Nastiti et al. 1982, 48). 

Prasasti Telang I memberikan keterangan bahwa Desa Telang diwajibkan untuk menjaga kamulān dan perahu, seperti yang tercantum dalam kutipan ini:
A.4-5 “…jar ya tan wuara saŋgahan. inujaran saŋ huwusan pu waluḥ anakwanua i anṅahi. de rakryān mapatiḥ kinon umaparṇnākna ikanaŋ wanua i tlaŋ muaŋ iŋ mahe…
5.wusan makakmitan °ikanaŋ kamulān mu°aŋ parahu....(=Penguasa Desa Huwusan [bernama] Pu Waluh, penduduk Desa Manṅahi, disuruh oleh Rakryan Mapatih untuk menyampaikannya ke [penduduk] Desa Tlaŋ, Desa Mahe, [dan Desa Paparahuan][yang termasuk wilayah Hu]wusan untuk menjaga kamulān dan perahu) (Nastiti 2015, 27-28)



Pemeliharaan bangunan keagamaan membutuhkan seorang petugas khusus. Petugas khusus tersebut dalam prasasti disebut dengan byapāra yang berarti juru pelihara bangunan keagamaan (Setianingsih 1991, 5). Sebagai petugas khusus untuk merawat bangunan keagamaan, byapāra memiliki tugas membersihkan dan merawat bangunan keagamaan dan lingkungan sekitarnya. Prasasti Landa yang tidak terdapat angka tahun di dalamnya menurut Christie (1999, 172) berasal dari masa Raja Kayuwangi memberikan keterangan mengenai bangunan keagamaan prāsāda yang ada di Ruhur dan Tambak yang disapu bagian dalam ruangannya. Halaman prāsāda ini juga dibersihkan dan dicabuti rumput-rumputnya (Darmosoetopo 2003, 248, Wuryantoro 2012, 351-352).

Petugas byapāra, seperti yang disebutkan dalam prasasti Watukura I jumlahnya lebih dari satu orang, kutipan prasasti yang menyebutkan indikasi tersebut adalah:

IIIa.1.“…rāmānamarata saŋ gariyan saŋ subhara saŋ windawa nāhan kweḥ ni rāmanta i watukura, tumarima ikanāŋ mās panīma saṅke haji, muaŋ milu sumusuk ikanāŋ dharmma, ika ta kabeḥ kapwa byapāra i bhaṭāra dharmma i watukura…” (Wuryantoro 2012, 129)(=pejabat kepala desa yang telah pensiun yaitu Sang Gariyan, Sang Subhara, Sang Windawa. Demikian banyaknya kepala desa di Watukura yang menerima uang emas untuk melaksanakan upacara penetapan sīma dari raja dan ikut membatasi/menetapkan bangunan keagamaan itu semuanya adalah para pemelihara bangunan keagamaan di Watukura).

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa para kepala desa yang telah menerima uang emas untuk memelihara bangunan keagamaan itu semua tergolong dalam petugas yang disebut byapāra. Termasuk ketiga kepala desa yang telah pensiun juga diberikan tugas untuk melestarikan bangunan keagamaan.

Pada masa Raja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung, pemeliharaan bangunan keagamaan mungkin tidak banyak berbeda dengan bentuk pemeliharaan bangunan keagamaan pada Prasasti Landa di atas. Pembersihan terhadap bangunan keagamaan bukan tanpa alasan, ajaran keagamaan yang mengajarkan bakti terhadap bangunan keagamaan atau dewa juga diajarkan dalam ajaran agama. Visualisasi dalam salah satu relief Karmawibhangga Borobudur menampilkan gambaran mengenai hal itu.

2. Renovasi Bangunan

Pada masa pemerintahan Raja Balitung pernah ada peristiwa renovasi bangunan keagamaan, peristiwa ini dicatat dalam prasasti Sangsang (907 M). Samgat Lamwa yang merupakan pejabat tinggi watak Lamwa di tugaskan untuk menetapkan Desa Sangsang sebagai sīma karena ia telah berjasa memperindah bangunan kuṭi di Hujung Galuh dan membangun biharā untuk komplek kuṭi tersebut. Kutipan kalimat prasastinya adalah:

5-6.“…i kanaŋ wanua wuara kuṭī i hujuŋ galuḥ watak lamwa ya ta pinuliḥ samgat lamwa pinahayu-nira jinayyakan nira wihāra ya sambandhā nya r inanugrahān kinon sumusuka i kanaŋ wanua i saŋsaŋ simā punpunnana nikanaŋ wiharā… ” (=van Naerssen 1937, 442)(=…wuara kuṭī di hujung galuh itu yang masuk dalam wilayah watak lamwa. Dia lah yang bernama Samgat Lamwa yang mempercantik (kompleks bangunan keagamaan), memulihkan kejayaan dengan menambahkan wiharā. Itulah sebabnya (ia) dianugerahi untuk membatasi desa sangsang menjadi simā punpunan bagi wiharā itu…)

Berdasarkan kutipan prasasti di atas, ada dua hal penting yang tercantum, pertama adalah hubungan antara bangunan keagamaan kuṭi dan wiharā. Karena bangunan wiharā dibangun dalam sebuah kompleks kuṭi, berarti bangunan wiharā merupakan bagian kecil dari bangunan kuṭi yang sudah ada. Kemungkinan lain yang bisa saja terjadi adalah bangunan kuti yang merupakan bangunan bernafaskan agama Buddha belum memiliki wiharā yang diidentifikasi sebagai tempat tinggal para pendeta agama Buddha (Darmosoetopo 2003, 204).

Jika bangunan wiharā ini dibangun setelah kuṭi-nya, berarti dapat dianggap bahwa wiharā merupakan bangunan pelengkap yang dibangun kemudian untuk menambahkan kompleks bangunan kuṭi yang sudah ada. Sebagai contoh, fenomena penambahan sebuah bangunaan keagamaan Buddha dengan sebuah bangunan wiharā telah ada sejak tahun 700 Ś (778 M). Raja Rakai Panangkaran membangun sebuah bangunan keagamaan untuk Dewi Tāra (Tārābhavanaṃ), sekarang diidentikkan dengan Candi Kalasan. Berdasarkan Prasasti Kalasan ini juga disebutkan pembangunan sebuah bihāra di sekitar bangunan keagamaan tersebut (Santiko 2012, 5-6).

Sesuai dengan bukti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu bentuk kebijakan pelestarian bangunan keagamaan adalah dengan cara menambah bangunan baru dalam suatu bangunan keagamaan. Prasasti Sangsang I adalah suatu bukti bahwa bangunan keagamaan kuṭi mengalami perawatan dan penambahan bangunan wiharā untuk melengkapi bangunan yang sudah ada. Prasasti ini juga menunjukkan bahwa pejabat yang terlibat dalam usaha pelestarian bangunan keagamaan tidak harus pejabat yang memiliki kedudukan tinggi, hal ini dapat dilihat dari peran Samgat Lamwa. Fakta ini semakin memperjelas bahwa gelar samgat adalah gelar pejabat yang berada pada tingkat watak yang memiliki tugas khusus di bidang keagamaan.

3. Dukungan untuk Keberadaan Bangunan Keagamaan

Pada masa pemerintahan Raja Balitung, pemberian atau dukungan terhadap bangunan keagamaan dapat berupa tanah sawah, kebun, dan tanah desa. Pemberian tanah kepada bangunan keagamaan masa Raja Balitung beragam jenisnya. Tanah yang diberikan sebagai biaya melestarikan bangunan keagamaan tersebut merupakan tanah yang terlebih dahulu dibatasi sebagai tanah sīma. Pemberian tanah terutama untuk penetapan sīma punpunan karena sīma punpunan sudah jelas merupakan tanah sīma untuk mendukung keberadaan bangunan keagamaan (Boechari 1980, 324; Darmosoetopo 2003, 109; Jones 1984, 78).
Seperti telah dikemukakan bahwa tanah adalah sumbangan yang paling banyak diberikan, mungkin karena masyarakat Matarām Kuno adalah masyarakat agraris. Sawah menghasilkan komoditas yang berguna untuk memenuhi hajat hidup masyarakat sehingga dapat juga untuk membiayai bangunan keagamaan. Hasil dari sawah sīma yang seharusnya diserahkan untuk kerajaan dalam bentuk pajak digunakan sebagai biaya untuk pelestarian bangunan keagamaan.

Misalnya Desa Panggumulan yang memiliki kewajiban membayar pajak empat māsa yang diperoleh dari sawah yang luasnya tujuh tampah dan satu kaṭik ditambah dengan penghasilan setahun dari hutan sebesar satu māsa perak harus di serahkan semuanya untuk memelihara bangunan keagamaan di Kinawuhan (Nastiti et al. 1982, 30). Contoh lainnya, adalah sawah di Wanua Tengah yang hasilnya diperuntukkan bagi biara di Pikatan yang telah dibangun oleh Rahyangta i Hara pada tahun 745 M. Adapun luas tanah yang disebutkan dalam prasasti adalah sisi utara 182 dpa sihwa, sisi selatan 162 dpa sihwa, sisi timur 160 dpa sihwa dan sisi barat 162 dpa sihwa dengan 3 tu.

Penambahan tanah terkait usaha atau kebijakan dalam menunjang pelestarian bangunan keagamaan pada masa pemerintahan Raja Balitung terdapat dalam prasasti Ketanen (904 M) yang ditemukan di Desa Ketanen, Mojokerto. Penjelasan mengenai hal itu dalam prasasti disebutkan bahwa Rakryan Lañja dai Innahan dan pembantu Rakryān memperluas sīma untuk para ajar (pendeta/guru) yang ada di Kabikuan Simājaran. Alasan penambahan tanah tersebut supaya hasil dari sīma menjadi lebih besar sehingga dana untuk mengurus bangunan keagamaan juga bertambah.

Pemberian tanah berupa kebun didapatkan dari Prasasati Taji (901 M) yang menyebutkan kebun di Desa Taji ini berisi anugerah sīma yang diberikan untuk tanah kebun di Desa Taji yang masuk wilayah dmung dijadikan tanah perdikan untuk sebuah kabikuan yang bernama Dewasabhā. Sebagaimana diketahui, kebun merupakan tanah yang juga ditanami sebagaimana tanah sawah, yang hasilnya dapat memberikan nilai ekonomis untuk digunakan dalam pelestarian bangunan keagamaan. Hal menarik adalah penjelasan dari prasasti Kaladi (909 M.) yang menyebutkan adanya tanah sīma di Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang masuk ke wilayah Bawang, tadinya merupakan hutan (alas araṇan) yang dan dirubah menjadi kebun. Kemudian kebun tersebut disebutkan ditanami dengan bunga yang diperuntukkan untuk mendukung pemberian wajib (panikĕlana susur). Adapun alasan mengapa hutan tersebut dijadikan kebun bunga, karena hutan tersebut tadinya hutan yang sangat rawan kejahatan yang menyebabkan ketakutan bagi orang yang melaluinya. 

Keterangan mengenai hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“…sambandha ikanaŋ lmaḥ iŋ kaladi i gayam mwaŋ iŋ pyapya watĕk bawaŋ sinêmbahakên ḍampunta sudḍara mwaŋ ḍampunta dampi. sīma pananamāna kambaŋ panikĕlana susur… sampun pua ya winehakĕn simān. sambandha iŋkang lmaḥ iŋ gayām muaŋ iŋ pyapya hlat gunanta kamulanya. alas araṇan katakutan…” (=…alasannya tanah di Kaladi, Gayam dan Pyapya yang masuk dalam wilayah (watêk) bawang dipersembahkan kepada Dampunta Sudḍara dan Dampunta Dampi sebagai tanah sīma untuk menanam bunga yang nanti hasilnya sebagai pemberian wajib. sudah diberikan anugerah sīma itu kepada mereka. Alasannya tanah di Gayām dan Pyapya terhalang dari segi keamanan…) (Jones 1984, 180).

Kutipan ini menunjukkan bahwa kebun bunga merupakan hal penting untuk mendukung bangunan keagamaan sebagai sarana upacara. Persembahan bunga untuk bhaṭāra atau bangunan keagamaan juga disebut dalam prasasati Kwak I pada masa pemerintahan Rakai Kayuwaŋi untuk bangunan pastika (mangraga kambang ing pastika) yang dilakukan tiap setengah tahun sekali (Darmosoetopo 2003, 250).
Pemberian bunga yang dilakukan untuk sebuah bangunan keagamaan merupakan sebuah bakti yang ditunjukkan kepada dewa. Pemberian itu memiliki arti religius bagi penguasa karena suatu pemberian baik yang diberikan akan membawa suatu pengembalian dalam hidup ini maupun dalam hidup yang akan datang (reinkarnasi) dalam keyakinan Hindu (Mauss 1992, 111). Secara luas bentuk-bentuk kebijakan yang telah diuraikan di atas pada akhirnya dapat dianggap sebagai kepedulian penguasa terhadap kehidupan beragama dan masyarakat pada masa itu.

Referensi

  1. Boechari. 2012. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia.” Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari, 3-28. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  2. Boechari. 1980. “Candi dan Lingkungannya.” In Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA), 319-341. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  3. Boechari and A. S. Wibowo. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  4. Brandes, J. L. A. 1913. Oud-Javaansche Oorkonden Nagelaten Transcripties van Wijlen Dr. J. L. A. Brandes Uitgegeven door Dr. N. J. Krom. VBG LX. Batavia: Albrecht & Co. M. Nijhoff.
  5. Casparis, J. G. de. 1956. Selected Incriptions From The 7th to The 9th Century A. D. II. Bandung: Masa Baru.
  6. Christie, Jan Wisseman. 1999. Register of The Inscriptions of Java 732-1060 A. D. I-II (The Inscriptions of Mataram)-Working Draft 9 July 1999.
  7. Darmosoetopo, Riboet. 2003. Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU. Yogyakarta: Prana Pena.
  8. Dwiyanto, Djoko. 1993. “Metode Penelitian Epigrafi dalam Arkeologi”. ARTEFAK No. 13, Agustus 1993: 7-9.
  9. Haryono, Timbul. 1980. “Gambaran tentang Upacara Penetapan Sīma”. Majalah Arkeologi III (1-2): 35-54.
  10. Jones, Antoinette M. B. 1984. Early Tenth Century Java From The Inscriptions, A Study of Economic, Social and Administrative Conditions in The First Quarter of The Century. Dordrecht: Foris Publication.
  11. Kusen. 1988. Prasasti Wanua Tengah III, 830 Saka: Studi Tentang Latar Belakang Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah Sejak Rake Panangkaran Sampai Rake Watukura Dyah Balitung. In Kegiatan Ilmiah Arkeologi IAAI Komisariat Yogyakarta-Jawa Tengah. Unpublish Work.
  12. Kusumuhartono, Bugie. 1994. “Data Baru dari Distribusi Artefak Prasasti”. Berkala Arkeologi tahun XIV-Edisi Khusus: 17-21.
  13. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian, Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Terj Parsudi Suparlan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  14. Nastiti, Titi Surti, Dyah Wijaya Dewi, and Richadiana Kartakusuma. 1982. Tiga Prasasti dari masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  15. Nastiti, Titi Surti 2015. “Prasasti Tlanŋ (904 M.): Desa Perdikan untuk Tempat Penyeberangan Masa Matarām Kuna.” Kalpataru Majalah Arkeologi Vol. 24 No. 1: 25-35.
  16. Purnamasari, Dewi. 2012. Sambandha dalam Prasasti-Prasasti Masa Balitung (820-832 Çaka). Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
  17. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi ke-empat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
  18. Santiko, Hariani. 2012. Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuna: Tinjauan Prasasti Kalasan. Seminar Nasional Epigrafi dan Sejarah Kuo Indonesia 5 Desember 2012. Unpublish Work.
  19. Sarkar, Himanshu Bhusan. 1972. Corpus of The Inscriptions old Java (Corpus Inscriptionium Javanicarium up to 928 A. D.). Calcutta: Firma K. L. Mukhopadhyay.
  20. Setianingsih, Rita Margaretha. 1991. Sekilas Tentang Petugas Bangunan Suci di Dalam Masyarakat Jawa Kuna. In Diskusi Ilmiah Epigrafi 9-10 November. Unpublish Work.
  21. Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia.
  22. ---------. 1927. “Een Belangrijke oorkonde uit de Kedoe.” In TBG 67: 172-215. Batavia: ALBRECHT & Co.
  23. Sttuterheim, W. F. 1940. “Oorkonde Van Balitung Uit 905 A.D. (Randoesari I)”. In Inscripties Van Nederlandsch-indie. Batavia: Kon. Drukkerij De Unie.
  24. Stuart, A. B. Cohen. 1975. Kawi Oorkonden in Facsimile, Met Inleiding en Transscriptie. Leiden: Gedrukt bij E. J. Brill.
  25. Suhadi, Machi and M. M. Soekarto Kartoatmojo. 1986. “Laporan Penelitian Epigrafi Jawa Tengah”. Berita Penelitian Arkeologi No. 37. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  26. Tedjowasono, Ninie Susanti. 1981. Struktur Birokasi Jaman Balitung: Data Prasasti. Skripsi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  27. van Naeersen, T. H. 1937. “Twee Koperen Oorkonden van Balitung in Het Koloniaal Instituut te Amsterdam”. BKI 95. 441-461.
  28. Widjaja, Metta. 1999. Penggambaran Kaum Agamawan pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
  29. Wuryantoro, Edhie. 2012. Prasasti Berbahasa Jawa Kuno Abad VIII – X Masehi Koleksi Museum Nasional Jakarta (Alih aksara dan Terjemahan). Jakarta: Museum Nasional Indonesia.
  30. Wuryantoro, Edhie and Hasan Djafar. 1996. “Prasasti Wanua Tengah 3 dan Masalah Dinasti Sanjaya-Sailendra”. Laporan Penelitian FS-UI. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  31. Zoetmulder, P. J. and S. O. Robson. 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Terj. Darusuprapta & Sumarti Suprayitna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


Demikianlah Artikel Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.), Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.) ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Pelestarian Bangunan Keagamaan dan Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M.) ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close