Kujang - Kajian Historis dan Filosofis
Kujang - Kajian Historis dan Filosofis - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Kujang - Kajian Historis dan Filosofis !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
2018 !!
Arkeologi !!
Budaya !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Kujang - Kajian Historis dan Filosofis ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
[Historiana] - Tulisan ini diambil dari Aris Munandar, dalam Jurnal Rekarupa Itenas No 1. Vol 2. Kajian Historis dan Filosofis Kujang serta hubungannya dengan kosmologi Sunda. Dari penelusuran kujang tersebut banyak ditemukan berbagai bentuk perupaan kujang yang sama sekali belum diinventarisasi dan dikaji sebagai varian kujang dalam berbagai penelitian sebelumnya. Keragaman perupaan kujang hasil temuan tersebut sangat menarik untuk di kaji dan diteliti lebih dalam. Wilayah temuan kujang tersebut meliputi Bandung dan sekitarnya, kabupaten Sumedang, Cirebon, Garut, Ciamis, dan Kanekes Provinsi Banten.
Meskipun ada sedikit perbedaan dalam penamaan, bentuk kujang memiliki struktur yang hampir sama. Bentuk tersebut mengarah kepada bentuk burung, atau manuk dalam bahasa Sunda. Kujang mempunyai latar belakang sejarah dan periode penciptaan yang panjang. Sebagai karya seni tradisi, kujang sarat akan makna filosofis dan simbolis.
Secara umum kujang dikenal sebagai senjata dan pusaka orang Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Kujang mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, hal ini dinyatakan secara teoritis; jumlah lubang 1 pada bilah kujang adalah simbol letak kota praja disebut Sunda tahun 670 M saat Tarumanegara dipimpin Maharaja Purnawarman (mengacu kujang sebagai peta). Pada zaman Pajajaran Mangukuhan kujang menjadi sebuah pusaka lambang pemersatu antara Sundapura dan Galuh melalui Perjanjian Galuh pada tahun 739 M (Kuntjoro, 2000). Apabila mengacu pada latar belakang sejarah penciptaan kujang tersebut, maka keberadaan kujang jauh lebih tua dari keberadaan provinsi Jawa Barat.
Kujang tidak hanya terdapat di wilayah provinsi Jawa Barat, hal ini terbukti dengan ditemukannya kujang lama atau buhun di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur (termasuk pulau Madura). Berdasarkan struktur fisik dan materialnya, berbagai kujang tersebut memiliki kesamaan dengan kujang yang ditemukan di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan pernyataan dari Bapak Santosa Adiwibowo, seorang pemerhati dan pecinta tosan aji dari Yogyakarta tahun 2010, istilah “Kujang” lebih populer di Jawa Barat, sementara di wilayah Jawa Tengah dan Timur lebih dikenal dengan istilah “Kudi” dan “Cangak”. Penamaan “Kujang” hanya terbatas pada kategori atau klasifikasi kujang “Ciung”, “Kuntul”, dan beberapa jenis kujang lainnya.
Sebaliknya “Kudi” yang lebih populer di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikategorikan ke dalam “Kujang Pamangkas” oleh beberapa peneliti kujang di Jawa Barat. Fenomena perbedaan penamaan dan klasifikasi kujang berdasar pada tafsiran para pecinta, peneliti dan daerah di mana kujang tersebut ditemukan. Kujang dengan berbagai cerita, legenda heroik dan magisnya masih tetap eksis sampai sekarang. Meski demikian, kujang dalam perkembangannya sangat diminati bukan sekedar karena kesaktian atau harapan dari pemiliknya untuk mendapatkan “sesuatu”, tetapi lebih pada nilai estetika dari bentuk fisik dan kelangkaan kujang tersebut. Para pemilik yang menyimpan kujang di beberapa daerah di Jawa Barat mempunyai motivasi untuk menghormati warisan leluhur dan bentuk penguatan karakter sebagai orang Sunda. Selain dari motivasi tersebut ada pula yang memburunya sebagai syarat untuk kepentingan dan maksud pribadi yang bersifat sangat rahasia.
Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang, dengan tahapan: Kujang asal kata dari Kudi Hyang atau Ku Dyah Hyang yang menunjuk kepada Ku Dayang Sumbi. Pernyataan tersebut sebagai wujud dari dimulainnya sistem ketatanegaraan di wilayah Nusa Kendeng atau Dwipantara (nama pulau Jawa saat itu).Salah satu nilai kujang terletak pada tingkat kelangkaannya.
Berdasarkan fakta di lapangan banyak dari artefak kujang yang sudah di koleksi para kolektor di luar negeri. Bahkan di museum kota Delft Belanda memiliki koleksi kujang lebih dari 150 bilah dengan berbagai varian bentuk (termasuk kujang yang sangat langka). Museum- museum yang berada di Jawa Barat, seperti Sri Baduga Bandung hanya memiliki kurang dari 10 bilah dan tidak banyak varian bentuknya. Koleksi kujang tersebut kebanyakan merupakan hasil dari sumbangan masyarakat. Museum Geusan Ulun Sumedang memiliki sekitar 30 bilah kujang dengan varian bentuk. Museum Kasepuhan dan Kanoman Cirebon pun tidak banyak memiliki koleksi kujang. Koleksi kujang dari berbagai museum di Jawa Barat tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan koleksi keris, tumbak dan goloknya. Keberadaan senjata tradisional di pulau Jawa sangat kaya, ada yang berupa berang, bendho, arit, kudi, cenggereng, golok, pangot, wedhung, pedang, tombak, hingga keris. Perkembangannya teknologi seni tempa tersebut mampu menciptakan satu teknik tempa Tosan Aji ( Tosan = besi, Aji = berharga) yang lebih sempurna. Kujang terdiri dari tiga unsur bahan bakunya, yaitu baja, besi dan pamor. Pada perkembangan berikutnya kujang bukan hanya sekedar senjata, tapi menjadi piandel (suatu alat untuk meningkatkan kepercayaan diri) juga menjadi simbol untuk mewakili status sosial pemakainya.
Kujang merupakan karya budaya tradisi Sunda maka untuk menerjemahkannya harus menggunakan
berbagai disiplin ilmu yang berasal dari tradisi budaya Sunda pula. Menurut Budi Setiawan (2009),
“Karena Kujang berasal dari sebuah konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba sebagai simbol
ajaran, maka dengan demikian kita harus mampu membaca melalui disiplin ilmu yang berasal dari
warisan leluhur Sunda pula”. Adapun metoda yang dijadikan acuan di dalam membacanya yaitu; Maca Totonden, secara holistik atau intertekstual elmu panemu, sebagai berikut (Atmadja, 2003-2009).
1. Panca Curiga yaitu Sindir, Sampir, Silib, Siloka, Sandi tina Simbul, dan Sasmita.
Dengan metode itu maka dari Kujang dapat diurai ke dalam berbagai deskripsi sebagai berikut.
Dari deskripsi di atas, maka kujang adalah manifestasi manusia sebagai perwujudan alam semesta yang paling sempurna. Kujang merupakan nilai filosofis ajaran atau ageman ketuhanan tentang asal usul semesta yang dijadikan dasar Nagara Karta Gama atau negara yang dilandasi nilai-nilai luhur agama. Bentuk Kudjang merupakan manifestasi wujud manusia sebagai sebuah penciptaan yang palingsempurna.Wudjud Kudjang, merupakan manifestasi alam semesta yang nantinya dituliskan dalam aksara Aji Saka Purwawisesa dengan bahasa Sang Saka Kreta atau Sansakerta (Sankskrit).
Penamaan manuk sebagai lambang kedaulatan negara kemudian dipersonifikasikan atau disilibkeun ke dalam bentuk burung, dan manuk merupakan alasan atau latar belakang perupaan saja. Simbolsimbol itu cenderung “abstrak” jauh dari memesis , tetapi pada pola dan struktur rasional dan empiriknya (Sumardjo, 2006)..
Kujang kemudian menjadi simbol ajaran Galeuh-na Nu Agung atau Galuh Hyang Agung (Galunggung) dan sistem kenegaraan dilambangkan menjadi Galudra (Garuda)-Galuh Ratu Sunda. Kujang merupakan lambang dari satu konsep ajaran Sunda. Di mana konsepsi ajaran tersebut diatas bersifat abstrak, para pendahulu bangsa ini mampu mengimplementasikan menjadi satu bentuk visual yaitu kujang.
Sejarah Kujang
Kujang memiliki latar belakang sejarah yang panjang, proses penciptaanya banyak dibahas dan dikaji pada berbagai penelitian terdahulu[6]. Berdasarkan bukti hasil temuan, banyak diantara kujang yang diperkirakan dibuat sebelum zaman Pajajaran. Bahkan ada peneliti kujang yang menyatakan bahwa kujang telah ada sejak zaman Taruma Nagara. Meski kujang tidak pernah ditulis dalam prasasti, banyak bukti yang memperkuat keberadaanya, seperti; situs megalithik Batu Kujang di daerah Sukabumi, temuan kudi di kompleks candi Batujaya Karawang, relief candi Sukuh di Surakarta, catatan Sir Stamford Raffles dalam buku The History of Java (Raffles, 2008) dan sebagainya.
Menurut hasil kajian Slamet Kuntjoro, diperkirakan sebelum teknologi logam dicapai pada masa kebudayaan Dongson atau jaman perunggu, manusia telah menciptakan berbagai bentuk dasar perkakas. Senjata atau piranti yang khas terbuat dari bahan dasar batu pipih, kemudian akibat perkembangan teknologi, bahan baku dasarnya dibuat dari perunggu. Perkakas itu dipakai sebagai alat pemotong, menebas dan dapat dilemparkan untuk mengenai sasaran binatang buruan. Bentuk perkakas dari batu dan perunggu ini berkembang setelah teknologi besi tempa dikuasai.
Pendapat lain menyatakan, bahwa di wilayah Nusantara pada umumnya perkakas “kudi” (secara perupaan menyerupai tanduk rusa) menjadi senjata berburu dan alat pemotong. Kudi ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain; kepulauan Alor, Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Konon khodiq di pulau Madura berevolusi sebagai senjata umum yang disebut “calok” atau kudi calok (calok Monteng) hingga mencapai bentuknya (secara evolusif) yang sekarang kita kenal disebut celurit atau clurit. Sementara di pulau Jawa pada umumnya kudi mengalami evolusi bentuk dan berkembang menjadi bentuk perkakas yang disebut bendo arit (kudi bendo) atau arit (secara fungsional).
Kujang (untuk wilayah Pasundan) adalah sebagai senjata yang memiliki nilai sakral dan mistis (sarana ritual). Sangat jelas bahwa kudi dan kujang berkembang berbeda fungsi. Kudi menjadi perkakas fungsional di Jawa bahkan mungkin seluruh Nusantara, sementara kujang lebih spesifik berkembang dan berevolusi di wilayah Pasundan (pulau Jawa secara umum?). Kujang berfungsi sebagai benda spiritual atau lebih dikenal dengan istilah pusaka dan jimat (azimat). Multi fungsi kudi itu antara lain sebagai perkakas pemotong padi (sabit), sebagai alat bela diri. Sementara kujang berfungsi sebagai medium mistik ,simbol status dan ajimat (pajimatan) atau sipat kandel (piandel).
Pada zaman Pajajaran Makukuhan atau Pajajaran awal (menurut referensi yang ada) kujang telah mendekati kesempurnaan secara perupaan, setelah direka atau di desain oleh para Mpu tersohor seperti Empu Windu Sarpa, Mercukunda, dan Ramayadi (Djatisunda,2009). Sebagai sebuah obyek penciptaan, kujang tak lepas dari pemenuhan kebutuhan ritual budaya yang sudah bergeser pada agama Hindu Jawa. Kujang selain diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, dengan sendirinya mengalami evolusi sebagai pelengkap nilai--nilai dari budaya Sunda pada zaman itu. Perkembangan sistim dalam nilai atau tatanan dan penyatuan pemikiran menjadi dorongan untuk memperkaya bentuk perupaan kujang, seperti bentuk-bentuk yang ditemukan sekarang ini.
Diperkirakan pada tahun 1170 M, kujang sebagai ajimat atau pusaka (piandel) mulai digunakan oleh para petinggi dan bangsawan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Kujang berfungsi sebagai simbol status kepangkatan, penghormatan kepada para pemimpin yang berjasa besar pada negara, nilai sebuah ajaran dan sebagainya (masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean). Akibat hubungan antara perkembangan sistem ketatanegaraan dengan ajaran Sunda Wiwitan (atikan Sunda atau adab Sunda) perupaan bentuk kujang berkembang sebagai implementasi pemetaan pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Bahwa apa yang disebut hebatnya kesaktian orang jaman dahulu masih ditemukan pada budaya tutur (lisan).
Berdasarkan bukti artefak yang ditemukan di wilayah Kanekes (Badui) provinsi Banten, ternyata karakteristik kujang yang dikategorikan sebagai perkakas multifungsi sangat berbeda karakter dengan kujang yang menjadi senjata (pusaka) masyarakat Sunda. Bagi masyarakat Kanekes kujang merujuk pada perkakas multi fungsi, yang umumnya oleh masyarakat di luar Kanekes perkakas tersebut cenderung disebut parang. Dengan demikian kujang yang dimaksud oleh masyarakat Kanekes merupakan sebuah perkakas yang hanya memiliki fungsi atau nilai praktis, sementara kujang yang menjadi pusaka Sunda dan objek dalam penelitian ini merupakan pusaka yang memiliki nilai simbolis dan filosofis. Hal ini sangat menarik minat penulis untuk melakukan kajian lebih dalam, karena teori tersebut sudah menjadi rujukan (kujang sebagai perkakas multifungsi) dan pemahaman masyarakat secara umum.
Ditemukannya berbagai varian perupaan kujang dari berbagai wilayah di Jawa Barat sebagai sampel penelitian, semakin menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Meski kujang ditemukan di berbagai wilayah di Jawa Barat, hal ini tidak berarti kujang tersebut merepresentasikan wilayah temuannya dan diciptakan di daerah tersebut. Kujang tidak dapat disamakan seperti produk kerajinan yang menjadi ciri khas daerah tertentu seperti batik. Batik dengan motif Merak Ngibing menjadi ciri khas wilayah Garut dan Batik Mega Mendung menjadi ciri khas Cirebon. Sementara itu kujang dan beberapa jenis tosan aji (yang berasal dari periode kuno) lainnya tidak seperti itu. Kujang berhubungan dengan sesuatu yang lebih luas dan lebih kosmologis.
Menelusuri keberadaan kujang merupakan kegiatan yang sangat menantang, dan seolah-olah memasuki wilayah rimba belantara budaya yang asing. Kenyataannya banyak sekali kujang yang sudah tidak utuh, dan menjadikan mata rantai sejarah terputus. Menemukan berbagai perupaan kujang merupakan satu kebanggan tersendiri, artinya bahwa kujang sebagai bukti sejarah berhasil diselamatkan.Penamaan dan klasifikasi bentuk perupaan kujang pun sangat beragam, sehingga sulit untuk menentukan mana yang paling sesuai dengan karakteristik bentuk kujang yang dimaksud. Sementara salah satu bentuk kudi (bentuknya sama dengan kudi lama) masih banyak dipergunakan masyarakat pedesaan di wilayah Cilacap, Banyumas, Purwokerto dan sekitarnya.
Apabila dikomparasikan dengan penamaan dapuran (disiplin perupaan atau gaya perupaan) keris, seperti Bango Dolog, Kuntul Ngantuk, Banyak Angrem, Kebo Theki dan sebagainya, panamaan tersebut tidak selalu didasarkan pada kemiripan bentuk bilahnya. Keris dapur Bango Bolog sama sekali tidak mirip dengan burung Bangau, dan keris dengan dapuran Kuntul Ngantuk sama sekali tidak menyerupai burung Kuntul dan Kebo Theki tidak menyerupai seekor kerbau.
Dalam disiplin penamaan dalam tosan aji (keris dan tumbak) tidak selalu secara langsung menyatakan hubungan dengan bentuk perupaannya. Untuk memahami dan mengetahui latar belakang perbedaan prinsip dalam penamaan kujang dan jenis tosan aji lainnya diperlukan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan tosan aji secara umum dan budaya Sunda. Kosmologi Sunda sebagai dasar dalam menganalisa dan mengkaji perupaan kujang diharapkan akan mengarahkan pada satu pemahaman nilai bentuk, penamaan, estetika, simbol dan makna filosofis yang terdapat pada setiap bilah kujang. Fenomena kujang sebagai nilai banyak dinyatakan dalam berbagai peri bahasa Sunda seperti, “Kujang di Hanjuang Siang Tujuh Ronggeng kala Sirna”, “Unggah Kidang Turun Kujang”, “Kujang dua Pangadekna atau Pangadegna”,”Kujang Keur naratas di Alam Pawenangan” , dan lain sebagainya.
Kujang Sebagai Gambaran Wilayah Kekuasaan
Pada zaman Pajajaran Makukuhan atau Pajajaran awal kujang telah mendekati kesempurnaan secara perupaan, setelah direka atau di desain pada abad 4-7 M oleh para Mpu tersohor seperti Empu Windu Sarpa, Mercukunda, dan Ramayadi [9] . Sebagai sebuah obyek penciptaan, kujang tak lepas dari pemenuhan kebutuhan ritual budaya yang sudah bergeser pada agama Hindu Jawa. Kujang selain diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, dengan sendirinya mengalami evolusi sebagai pelengkap nilai--nilai dari budaya Sunda pada zaman itu. Perkembangan sistim dalam nilai atau tatanan dan penyatuan pemikiran menjadi dorongan untuk memperkaya bentuk perupaan kujang, seperti bentuk-bentuk yang ditemukan sekarang ini.
Diperkirakan pada tahun 1170 M, kujang sebagai ajimat atau pusaka (piandel) mulai digunakan oleh para petinggi dan bangsawan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Kujang berfungsi sebagai simbol status kepangkatan, penghormatan kepada para pemimpin yang berjasa besar pada negara, nilai sebuah ajaran dan sebagainya (masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean)[9]. Akibat hubungan antara perkembangan sistem ketatanegaraan dengan ajaran Sunda Wiwitan (atikan Sunda atau adab Sunda) perupaan bentuk kujang berkembang sebagai implementasi pemetaan pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Bahwa apa yang disebut hebatnya kesaktian orang jaman dahulu masih ditemukan pada budaya tutur (lisan ). Catatan tersebut di temukan dan di benarkan oleh Alexander Lee, seorang ahli okultisme dan guru besar metafisika dari Amerika, catatan itu antara lain menyatakan, bahwa pada salah satu tapa bratanya, Prabu Kudo Lalean pada masa kerajaan Pajajaran Makukuhan menemukan gambaran visual atau penerawangan tentangbentuk bumi yang diinjaknya sekarang. Maka Kudo Lalean meminta dilakukan pengkajian kepada para ahli penerawangan. Empu Windu Sarpo juga membenarkan apa yang didapati secara visual Prabu Kudo Lalean….. yaitu visualisasi dari pulau Jawa” (Ku Jawa Hyang). Kemudian setelah itu, mandat diserahkan kepada Mpu Windu Sarpo sesuai hasil penerawangannya berupa bentuk pulau “Jawa Dwipa”.
Pendapat Sulaeman berbeda dengan dua pendapat sebelumnya. Walaupun demikian bentuk dasar kujang adalah betul sebagai penggambaran bentuk dari suatu peta wilayah Pasundan ataukah pulau Jawa. Bahwa kujang merupakan suatu bentuk peta yang juga bermuatan simbol Trimurti (tiga lubang), mendekati penalaran. Akan tetapi pendapat lain menyatakan, karena dunia agraris pertanian di mana padi adalah yang utama.
Seperti yang sudah dikenal bahwa daerah Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat, dan ditemukannya situs-situs yang mengindikasikan eksistensi kerajaan Sunda (Candi Batu Jaya, Karawang pada masa Taruma Nagara). Bentuk estetika kujang bisa jadi adalah merupakan pelengkap ritual penggambaranburung sebagai simbol dari pencerahan (silib -siloka dalam bhasa Sunda).
Apalagi jika meninjau kujang ramping pangarak (di beberapa wilayah populer dengan istilah “Cangak”) dapat dianggap merepresentasikan bentuk burung itu. Peninggalan karya keindahan purbakala itu dipastikan digarap oleh seorang guru teupa atau mpu.
Snouck Hurgronje, Hazeu, Kern, dan G.P. Rouffaer tahun 1909 melaporkan penelitiannya tentang kudi sebagai senjata tajam yang kuno di Madura dan di Jawa Tengah (Purwokerto-Banyumas). Sebenarnya pengamatan atau observasi mereka itu sudah sangat mendekati kebenaran dan sangat kritis. Bahwasannya kudi menjadi hilang dan berkembang bentuk menjadi bentuk kudi yang baru, sedangkan kujang menjadi pusaka upacara dan lambang bagi para raja.
Senjata bentuk baru itu disebut Kudi Hyang, dalam arti kudi yang “suci” (sakral) khusus untuk upacara atau pegangan pribadi atau piandel. Ternyata justru kudi-lah yang sebenarnya merupakan sebagai senjata atau perabot untuk alat pertanian, sedangkan yang Kudi Hyang atau Kudi Hiyang (Kudyang) tidak pernah dipergunakan sembarangan terkecuali semata-mata untuk menjaga diri. Alatalat pertanian tak pernah berpamor. Alat perang atau senjata yang bilahnya memiliki pamor. Jadi sumber yang menyebutkan senjata sakti cukup banyak. Akan tetapi sumber yang menceritakan bagaimana senjata tersebut dibuat, cara berpanday, jenis besi apa, ilmu apa dan sebagainya, sangat minim. Logam yang sering disebut adalah emas, perak, besi, baja, timah.
Secara umum, kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai nilai estetika yang bermakna filosofis dan simbolis budaya Sunda. Di mana nilai dan makna tersebut mempunyai kekuatan tertentu bersifat mistis yang berasal dari Hyang Tunggal. Sebagai sebuah wesi aji atau pusaka sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus dalam masyarakat Sunda.Bagi masyarakat Sunda, upaya untuk mengungkap makna dibalik perupaan sebuah artefak, yang dalam penelitian ini adalah kujang, tidak dapat dilakukan dengan mengadopsi cara atau pendekatan yang keluar dari konteks cara ungkap masyarakatnya sendiri. Dengan demikian, cara atau pendekatan yang dipergunakan dalam mengungkap dimensi intrinsik dari artefak Sunda seperti Ilmu Palintangan Sunda Buhun (Sunda Lama) berdasarkan disiplin Aksara Sansakerta atau Ha Na Ca Ra Ka (cacarakan) berdasarkan kitab Sastra Jendra Hayuningrat, Pola Tiga Sunda (Kosmologi Sunda), Pancaniti atau Lima Titian Ilmu, Konsep Estetika Sunda pada Kujang, Konsep Perupaan Kujang, merupakan cara atau pendekatan yang benar dan relevan dalam konteks filsafat timur, maupun filsafat seni. Hal ini dikarenakan cara atau pendekatan tersebut berlandaskan kepada tuntunan kehidupan masyarakat Sunda yang merupakan cara mereka berfilsafat, membangun pengetahuan berikut kekuatan penjelasannya (explanatory power), membangun jarak estetik, sekaligus kritis, dengan artefak-artefak warisan budayanya sendiri.
Referensi
Meskipun ada sedikit perbedaan dalam penamaan, bentuk kujang memiliki struktur yang hampir sama. Bentuk tersebut mengarah kepada bentuk burung, atau manuk dalam bahasa Sunda. Kujang mempunyai latar belakang sejarah dan periode penciptaan yang panjang. Sebagai karya seni tradisi, kujang sarat akan makna filosofis dan simbolis.
Secara umum kujang dikenal sebagai senjata dan pusaka orang Sunda yang berasal dari Jawa Barat. Kujang mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, hal ini dinyatakan secara teoritis; jumlah lubang 1 pada bilah kujang adalah simbol letak kota praja disebut Sunda tahun 670 M saat Tarumanegara dipimpin Maharaja Purnawarman (mengacu kujang sebagai peta). Pada zaman Pajajaran Mangukuhan kujang menjadi sebuah pusaka lambang pemersatu antara Sundapura dan Galuh melalui Perjanjian Galuh pada tahun 739 M (Kuntjoro, 2000). Apabila mengacu pada latar belakang sejarah penciptaan kujang tersebut, maka keberadaan kujang jauh lebih tua dari keberadaan provinsi Jawa Barat.
Kujang tidak hanya terdapat di wilayah provinsi Jawa Barat, hal ini terbukti dengan ditemukannya kujang lama atau buhun di berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur (termasuk pulau Madura). Berdasarkan struktur fisik dan materialnya, berbagai kujang tersebut memiliki kesamaan dengan kujang yang ditemukan di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan pernyataan dari Bapak Santosa Adiwibowo, seorang pemerhati dan pecinta tosan aji dari Yogyakarta tahun 2010, istilah “Kujang” lebih populer di Jawa Barat, sementara di wilayah Jawa Tengah dan Timur lebih dikenal dengan istilah “Kudi” dan “Cangak”. Penamaan “Kujang” hanya terbatas pada kategori atau klasifikasi kujang “Ciung”, “Kuntul”, dan beberapa jenis kujang lainnya.
Sebaliknya “Kudi” yang lebih populer di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikategorikan ke dalam “Kujang Pamangkas” oleh beberapa peneliti kujang di Jawa Barat. Fenomena perbedaan penamaan dan klasifikasi kujang berdasar pada tafsiran para pecinta, peneliti dan daerah di mana kujang tersebut ditemukan. Kujang dengan berbagai cerita, legenda heroik dan magisnya masih tetap eksis sampai sekarang. Meski demikian, kujang dalam perkembangannya sangat diminati bukan sekedar karena kesaktian atau harapan dari pemiliknya untuk mendapatkan “sesuatu”, tetapi lebih pada nilai estetika dari bentuk fisik dan kelangkaan kujang tersebut. Para pemilik yang menyimpan kujang di beberapa daerah di Jawa Barat mempunyai motivasi untuk menghormati warisan leluhur dan bentuk penguatan karakter sebagai orang Sunda. Selain dari motivasi tersebut ada pula yang memburunya sebagai syarat untuk kepentingan dan maksud pribadi yang bersifat sangat rahasia.
Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang, dengan tahapan: Kujang asal kata dari Kudi Hyang atau Ku Dyah Hyang yang menunjuk kepada Ku Dayang Sumbi. Pernyataan tersebut sebagai wujud dari dimulainnya sistem ketatanegaraan di wilayah Nusa Kendeng atau Dwipantara (nama pulau Jawa saat itu).Salah satu nilai kujang terletak pada tingkat kelangkaannya.
Berdasarkan fakta di lapangan banyak dari artefak kujang yang sudah di koleksi para kolektor di luar negeri. Bahkan di museum kota Delft Belanda memiliki koleksi kujang lebih dari 150 bilah dengan berbagai varian bentuk (termasuk kujang yang sangat langka). Museum- museum yang berada di Jawa Barat, seperti Sri Baduga Bandung hanya memiliki kurang dari 10 bilah dan tidak banyak varian bentuknya. Koleksi kujang tersebut kebanyakan merupakan hasil dari sumbangan masyarakat. Museum Geusan Ulun Sumedang memiliki sekitar 30 bilah kujang dengan varian bentuk. Museum Kasepuhan dan Kanoman Cirebon pun tidak banyak memiliki koleksi kujang. Koleksi kujang dari berbagai museum di Jawa Barat tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan koleksi keris, tumbak dan goloknya. Keberadaan senjata tradisional di pulau Jawa sangat kaya, ada yang berupa berang, bendho, arit, kudi, cenggereng, golok, pangot, wedhung, pedang, tombak, hingga keris. Perkembangannya teknologi seni tempa tersebut mampu menciptakan satu teknik tempa Tosan Aji ( Tosan = besi, Aji = berharga) yang lebih sempurna. Kujang terdiri dari tiga unsur bahan bakunya, yaitu baja, besi dan pamor. Pada perkembangan berikutnya kujang bukan hanya sekedar senjata, tapi menjadi piandel (suatu alat untuk meningkatkan kepercayaan diri) juga menjadi simbol untuk mewakili status sosial pemakainya.
Kujang merupakan karya budaya tradisi Sunda maka untuk menerjemahkannya harus menggunakan
berbagai disiplin ilmu yang berasal dari tradisi budaya Sunda pula. Menurut Budi Setiawan (2009),
“Karena Kujang berasal dari sebuah konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba sebagai simbol
ajaran, maka dengan demikian kita harus mampu membaca melalui disiplin ilmu yang berasal dari
warisan leluhur Sunda pula”. Adapun metoda yang dijadikan acuan di dalam membacanya yaitu; Maca Totonden, secara holistik atau intertekstual elmu panemu, sebagai berikut (Atmadja, 2003-2009).
1. Panca Curiga yaitu Sindir, Sampir, Silib, Siloka, Sandi tina Simbul, dan Sasmita.
- Sindir-sampir yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (allusion).
- Silib yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan secara tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain (allude).
- Siloka adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian atau gambaran yang berbeda (aphorisma).
- Sasmita, berkaitan dengan suasana dan perasaan hati (depth aphorisma).
- Niti Harti, yaitu tahap mengerti dan memahami.
- Niti Surti, yaitu tahap menghayati, memaknai dan mengkaji.
- Niti Bakti, yaitu tahap membaktikan yang bersifat ilahiah.
- Niti Bukti, yaitu tahap membuktikan yang besifat ilmiah.
- Niti Sajati, yaitu hasil dari akumulasi 4 tahap sebelumnya dengan menemukan kebenaran yang hakiki.
Dengan metode itu maka dari Kujang dapat diurai ke dalam berbagai deskripsi sebagai berikut.
- Sindir : Kukuh kana Jangji
- Sampir : Merupakan alat pertanian atau perkakas (pakakas) orang Sunda
- Silib : Ku–Jawa–Hyang/Kudi Hyang/Ku Ujang
- Siloka : Diri manusia sebagai pembawa ajaran untuk menyempurnakan kesejahteraan Naga-Ra dengan Sandi Cimanuk atau Rawa Manuk Sandi dari simbol “manuk” sebagai lambang kedaulatan sebuah negara yang disimbolkan dalam bentuk burung sebagai latar belakang atau alasan perupaan saja.
- Sasmita : Ka-Ja-Nga (aksara Hanacaraka)
- Ka bermakna Tanaga berada dalam kedudukan di Buana Nyungcung
- Dja atau Ja bermakna Wujud Hurip berada dalam kedudukan di Buana Panca Tengah
- Nga bermakna Seuneu Kawasa berada dalam kedudukan di Buana
Dari deskripsi di atas, maka kujang adalah manifestasi manusia sebagai perwujudan alam semesta yang paling sempurna. Kujang merupakan nilai filosofis ajaran atau ageman ketuhanan tentang asal usul semesta yang dijadikan dasar Nagara Karta Gama atau negara yang dilandasi nilai-nilai luhur agama. Bentuk Kudjang merupakan manifestasi wujud manusia sebagai sebuah penciptaan yang palingsempurna.Wudjud Kudjang, merupakan manifestasi alam semesta yang nantinya dituliskan dalam aksara Aji Saka Purwawisesa dengan bahasa Sang Saka Kreta atau Sansakerta (Sankskrit).
Penamaan manuk sebagai lambang kedaulatan negara kemudian dipersonifikasikan atau disilibkeun ke dalam bentuk burung, dan manuk merupakan alasan atau latar belakang perupaan saja. Simbolsimbol itu cenderung “abstrak” jauh dari memesis , tetapi pada pola dan struktur rasional dan empiriknya (Sumardjo, 2006)..
Kujang kemudian menjadi simbol ajaran Galeuh-na Nu Agung atau Galuh Hyang Agung (Galunggung) dan sistem kenegaraan dilambangkan menjadi Galudra (Garuda)-Galuh Ratu Sunda. Kujang merupakan lambang dari satu konsep ajaran Sunda. Di mana konsepsi ajaran tersebut diatas bersifat abstrak, para pendahulu bangsa ini mampu mengimplementasikan menjadi satu bentuk visual yaitu kujang.
Sejarah Kujang
Kujang memiliki latar belakang sejarah yang panjang, proses penciptaanya banyak dibahas dan dikaji pada berbagai penelitian terdahulu[6]. Berdasarkan bukti hasil temuan, banyak diantara kujang yang diperkirakan dibuat sebelum zaman Pajajaran. Bahkan ada peneliti kujang yang menyatakan bahwa kujang telah ada sejak zaman Taruma Nagara. Meski kujang tidak pernah ditulis dalam prasasti, banyak bukti yang memperkuat keberadaanya, seperti; situs megalithik Batu Kujang di daerah Sukabumi, temuan kudi di kompleks candi Batujaya Karawang, relief candi Sukuh di Surakarta, catatan Sir Stamford Raffles dalam buku The History of Java (Raffles, 2008) dan sebagainya.
Menurut hasil kajian Slamet Kuntjoro, diperkirakan sebelum teknologi logam dicapai pada masa kebudayaan Dongson atau jaman perunggu, manusia telah menciptakan berbagai bentuk dasar perkakas. Senjata atau piranti yang khas terbuat dari bahan dasar batu pipih, kemudian akibat perkembangan teknologi, bahan baku dasarnya dibuat dari perunggu. Perkakas itu dipakai sebagai alat pemotong, menebas dan dapat dilemparkan untuk mengenai sasaran binatang buruan. Bentuk perkakas dari batu dan perunggu ini berkembang setelah teknologi besi tempa dikuasai.
Pendapat lain menyatakan, bahwa di wilayah Nusantara pada umumnya perkakas “kudi” (secara perupaan menyerupai tanduk rusa) menjadi senjata berburu dan alat pemotong. Kudi ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain; kepulauan Alor, Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Konon khodiq di pulau Madura berevolusi sebagai senjata umum yang disebut “calok” atau kudi calok (calok Monteng) hingga mencapai bentuknya (secara evolusif) yang sekarang kita kenal disebut celurit atau clurit. Sementara di pulau Jawa pada umumnya kudi mengalami evolusi bentuk dan berkembang menjadi bentuk perkakas yang disebut bendo arit (kudi bendo) atau arit (secara fungsional).
Kujang (untuk wilayah Pasundan) adalah sebagai senjata yang memiliki nilai sakral dan mistis (sarana ritual). Sangat jelas bahwa kudi dan kujang berkembang berbeda fungsi. Kudi menjadi perkakas fungsional di Jawa bahkan mungkin seluruh Nusantara, sementara kujang lebih spesifik berkembang dan berevolusi di wilayah Pasundan (pulau Jawa secara umum?). Kujang berfungsi sebagai benda spiritual atau lebih dikenal dengan istilah pusaka dan jimat (azimat). Multi fungsi kudi itu antara lain sebagai perkakas pemotong padi (sabit), sebagai alat bela diri. Sementara kujang berfungsi sebagai medium mistik ,simbol status dan ajimat (pajimatan) atau sipat kandel (piandel).
Pada zaman Pajajaran Makukuhan atau Pajajaran awal (menurut referensi yang ada) kujang telah mendekati kesempurnaan secara perupaan, setelah direka atau di desain oleh para Mpu tersohor seperti Empu Windu Sarpa, Mercukunda, dan Ramayadi (Djatisunda,2009). Sebagai sebuah obyek penciptaan, kujang tak lepas dari pemenuhan kebutuhan ritual budaya yang sudah bergeser pada agama Hindu Jawa. Kujang selain diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, dengan sendirinya mengalami evolusi sebagai pelengkap nilai--nilai dari budaya Sunda pada zaman itu. Perkembangan sistim dalam nilai atau tatanan dan penyatuan pemikiran menjadi dorongan untuk memperkaya bentuk perupaan kujang, seperti bentuk-bentuk yang ditemukan sekarang ini.
Diperkirakan pada tahun 1170 M, kujang sebagai ajimat atau pusaka (piandel) mulai digunakan oleh para petinggi dan bangsawan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Kujang berfungsi sebagai simbol status kepangkatan, penghormatan kepada para pemimpin yang berjasa besar pada negara, nilai sebuah ajaran dan sebagainya (masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean). Akibat hubungan antara perkembangan sistem ketatanegaraan dengan ajaran Sunda Wiwitan (atikan Sunda atau adab Sunda) perupaan bentuk kujang berkembang sebagai implementasi pemetaan pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Bahwa apa yang disebut hebatnya kesaktian orang jaman dahulu masih ditemukan pada budaya tutur (lisan).
Kujang Sunda
Berdasarkan observasi awal dapat diketahui bahwa kujang memiliki kekayaan bentuk dan ukuran. Pada berbagai penelitian terdahulu hal belum dikaji secara mendalam mengenai kujang dengan pemahaman tersebut. Keragaman perupaan kujang tersebut sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.Kujang pada awalnya merupakan perkakas multi fungsi dan senjata (Sumardjo, 2006). Hal tersebut dibuktikan dengan masih dipergunakannya kudi dan kujang sebagai perkakas di beberapa daerah seperti wilayah Banyumas (kudi), masyarakat tradisional Pancer Pangawinan di Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan Kanekes Provinsi Banten.Berdasarkan bukti artefak yang ditemukan di wilayah Kanekes (Badui) provinsi Banten, ternyata karakteristik kujang yang dikategorikan sebagai perkakas multifungsi sangat berbeda karakter dengan kujang yang menjadi senjata (pusaka) masyarakat Sunda. Bagi masyarakat Kanekes kujang merujuk pada perkakas multi fungsi, yang umumnya oleh masyarakat di luar Kanekes perkakas tersebut cenderung disebut parang. Dengan demikian kujang yang dimaksud oleh masyarakat Kanekes merupakan sebuah perkakas yang hanya memiliki fungsi atau nilai praktis, sementara kujang yang menjadi pusaka Sunda dan objek dalam penelitian ini merupakan pusaka yang memiliki nilai simbolis dan filosofis. Hal ini sangat menarik minat penulis untuk melakukan kajian lebih dalam, karena teori tersebut sudah menjadi rujukan (kujang sebagai perkakas multifungsi) dan pemahaman masyarakat secara umum.
Ditemukannya berbagai varian perupaan kujang dari berbagai wilayah di Jawa Barat sebagai sampel penelitian, semakin menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Meski kujang ditemukan di berbagai wilayah di Jawa Barat, hal ini tidak berarti kujang tersebut merepresentasikan wilayah temuannya dan diciptakan di daerah tersebut. Kujang tidak dapat disamakan seperti produk kerajinan yang menjadi ciri khas daerah tertentu seperti batik. Batik dengan motif Merak Ngibing menjadi ciri khas wilayah Garut dan Batik Mega Mendung menjadi ciri khas Cirebon. Sementara itu kujang dan beberapa jenis tosan aji (yang berasal dari periode kuno) lainnya tidak seperti itu. Kujang berhubungan dengan sesuatu yang lebih luas dan lebih kosmologis.
Menelusuri keberadaan kujang merupakan kegiatan yang sangat menantang, dan seolah-olah memasuki wilayah rimba belantara budaya yang asing. Kenyataannya banyak sekali kujang yang sudah tidak utuh, dan menjadikan mata rantai sejarah terputus. Menemukan berbagai perupaan kujang merupakan satu kebanggan tersendiri, artinya bahwa kujang sebagai bukti sejarah berhasil diselamatkan.Penamaan dan klasifikasi bentuk perupaan kujang pun sangat beragam, sehingga sulit untuk menentukan mana yang paling sesuai dengan karakteristik bentuk kujang yang dimaksud. Sementara salah satu bentuk kudi (bentuknya sama dengan kudi lama) masih banyak dipergunakan masyarakat pedesaan di wilayah Cilacap, Banyumas, Purwokerto dan sekitarnya.
Apabila dikomparasikan dengan penamaan dapuran (disiplin perupaan atau gaya perupaan) keris, seperti Bango Dolog, Kuntul Ngantuk, Banyak Angrem, Kebo Theki dan sebagainya, panamaan tersebut tidak selalu didasarkan pada kemiripan bentuk bilahnya. Keris dapur Bango Bolog sama sekali tidak mirip dengan burung Bangau, dan keris dengan dapuran Kuntul Ngantuk sama sekali tidak menyerupai burung Kuntul dan Kebo Theki tidak menyerupai seekor kerbau.
Dalam disiplin penamaan dalam tosan aji (keris dan tumbak) tidak selalu secara langsung menyatakan hubungan dengan bentuk perupaannya. Untuk memahami dan mengetahui latar belakang perbedaan prinsip dalam penamaan kujang dan jenis tosan aji lainnya diperlukan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan tosan aji secara umum dan budaya Sunda. Kosmologi Sunda sebagai dasar dalam menganalisa dan mengkaji perupaan kujang diharapkan akan mengarahkan pada satu pemahaman nilai bentuk, penamaan, estetika, simbol dan makna filosofis yang terdapat pada setiap bilah kujang. Fenomena kujang sebagai nilai banyak dinyatakan dalam berbagai peri bahasa Sunda seperti, “Kujang di Hanjuang Siang Tujuh Ronggeng kala Sirna”, “Unggah Kidang Turun Kujang”, “Kujang dua Pangadekna atau Pangadegna”,”Kujang Keur naratas di Alam Pawenangan” , dan lain sebagainya.
Morfologi Bentuk Kujang
Pemahaman kujang secara umum dan teori kujang yang dijadikan rujukan secara morfologi, memiliki kecenderungan kuat memberi penamaan kujang berdasar pada gejala mimesis. Secara umum dalam masyarakat Sunda gejala ini biasa disebut dengan istilah “siga” (menyerupai) dalam melihat berbagai fenomena perupaan. Seperti contoh penamaan kujang Kuntul, karena dianggap bentuk perupaannya menyerupai burung Kuntul, kujang Ciung karena dianggap bentuk perupaannya menyerupai burung Ciung dan sebagainya. Dengan analisis makna kujang di atas, maka kujang dapat diurai ke dalam morfologi bentuk kujang yang dipadankan dengan dinamika bentuk burung (manuk) dan proses kelahiran dan hidup manusia, sesuai dengan interpretasi yang terdapat pada Silib. Gambaran morfologi kujang dan hubungan bentuk dapat dilihat pada gambar berikut.Kujang Sebagai Gambaran Wilayah Kekuasaan
Pada zaman Pajajaran Makukuhan atau Pajajaran awal kujang telah mendekati kesempurnaan secara perupaan, setelah direka atau di desain pada abad 4-7 M oleh para Mpu tersohor seperti Empu Windu Sarpa, Mercukunda, dan Ramayadi [9] . Sebagai sebuah obyek penciptaan, kujang tak lepas dari pemenuhan kebutuhan ritual budaya yang sudah bergeser pada agama Hindu Jawa. Kujang selain diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, dengan sendirinya mengalami evolusi sebagai pelengkap nilai--nilai dari budaya Sunda pada zaman itu. Perkembangan sistim dalam nilai atau tatanan dan penyatuan pemikiran menjadi dorongan untuk memperkaya bentuk perupaan kujang, seperti bentuk-bentuk yang ditemukan sekarang ini.
Diperkirakan pada tahun 1170 M, kujang sebagai ajimat atau pusaka (piandel) mulai digunakan oleh para petinggi dan bangsawan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Kujang berfungsi sebagai simbol status kepangkatan, penghormatan kepada para pemimpin yang berjasa besar pada negara, nilai sebuah ajaran dan sebagainya (masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean)[9]. Akibat hubungan antara perkembangan sistem ketatanegaraan dengan ajaran Sunda Wiwitan (atikan Sunda atau adab Sunda) perupaan bentuk kujang berkembang sebagai implementasi pemetaan pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Bahwa apa yang disebut hebatnya kesaktian orang jaman dahulu masih ditemukan pada budaya tutur (lisan ). Catatan tersebut di temukan dan di benarkan oleh Alexander Lee, seorang ahli okultisme dan guru besar metafisika dari Amerika, catatan itu antara lain menyatakan, bahwa pada salah satu tapa bratanya, Prabu Kudo Lalean pada masa kerajaan Pajajaran Makukuhan menemukan gambaran visual atau penerawangan tentangbentuk bumi yang diinjaknya sekarang. Maka Kudo Lalean meminta dilakukan pengkajian kepada para ahli penerawangan. Empu Windu Sarpo juga membenarkan apa yang didapati secara visual Prabu Kudo Lalean….. yaitu visualisasi dari pulau Jawa” (Ku Jawa Hyang). Kemudian setelah itu, mandat diserahkan kepada Mpu Windu Sarpo sesuai hasil penerawangannya berupa bentuk pulau “Jawa Dwipa”.
Pendapat Sulaeman berbeda dengan dua pendapat sebelumnya. Walaupun demikian bentuk dasar kujang adalah betul sebagai penggambaran bentuk dari suatu peta wilayah Pasundan ataukah pulau Jawa. Bahwa kujang merupakan suatu bentuk peta yang juga bermuatan simbol Trimurti (tiga lubang), mendekati penalaran. Akan tetapi pendapat lain menyatakan, karena dunia agraris pertanian di mana padi adalah yang utama.
Seperti yang sudah dikenal bahwa daerah Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat, dan ditemukannya situs-situs yang mengindikasikan eksistensi kerajaan Sunda (Candi Batu Jaya, Karawang pada masa Taruma Nagara). Bentuk estetika kujang bisa jadi adalah merupakan pelengkap ritual penggambaranburung sebagai simbol dari pencerahan (silib -siloka dalam bhasa Sunda).
Apalagi jika meninjau kujang ramping pangarak (di beberapa wilayah populer dengan istilah “Cangak”) dapat dianggap merepresentasikan bentuk burung itu. Peninggalan karya keindahan purbakala itu dipastikan digarap oleh seorang guru teupa atau mpu.
Snouck Hurgronje, Hazeu, Kern, dan G.P. Rouffaer tahun 1909 melaporkan penelitiannya tentang kudi sebagai senjata tajam yang kuno di Madura dan di Jawa Tengah (Purwokerto-Banyumas). Sebenarnya pengamatan atau observasi mereka itu sudah sangat mendekati kebenaran dan sangat kritis. Bahwasannya kudi menjadi hilang dan berkembang bentuk menjadi bentuk kudi yang baru, sedangkan kujang menjadi pusaka upacara dan lambang bagi para raja.
Senjata bentuk baru itu disebut Kudi Hyang, dalam arti kudi yang “suci” (sakral) khusus untuk upacara atau pegangan pribadi atau piandel. Ternyata justru kudi-lah yang sebenarnya merupakan sebagai senjata atau perabot untuk alat pertanian, sedangkan yang Kudi Hyang atau Kudi Hiyang (Kudyang) tidak pernah dipergunakan sembarangan terkecuali semata-mata untuk menjaga diri. Alatalat pertanian tak pernah berpamor. Alat perang atau senjata yang bilahnya memiliki pamor. Jadi sumber yang menyebutkan senjata sakti cukup banyak. Akan tetapi sumber yang menceritakan bagaimana senjata tersebut dibuat, cara berpanday, jenis besi apa, ilmu apa dan sebagainya, sangat minim. Logam yang sering disebut adalah emas, perak, besi, baja, timah.
Secara umum, kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai nilai estetika yang bermakna filosofis dan simbolis budaya Sunda. Di mana nilai dan makna tersebut mempunyai kekuatan tertentu bersifat mistis yang berasal dari Hyang Tunggal. Sebagai sebuah wesi aji atau pusaka sejak dahulu hingga saat ini kujang menempati satu posisi yang sangat khusus dalam masyarakat Sunda.Bagi masyarakat Sunda, upaya untuk mengungkap makna dibalik perupaan sebuah artefak, yang dalam penelitian ini adalah kujang, tidak dapat dilakukan dengan mengadopsi cara atau pendekatan yang keluar dari konteks cara ungkap masyarakatnya sendiri. Dengan demikian, cara atau pendekatan yang dipergunakan dalam mengungkap dimensi intrinsik dari artefak Sunda seperti Ilmu Palintangan Sunda Buhun (Sunda Lama) berdasarkan disiplin Aksara Sansakerta atau Ha Na Ca Ra Ka (cacarakan) berdasarkan kitab Sastra Jendra Hayuningrat, Pola Tiga Sunda (Kosmologi Sunda), Pancaniti atau Lima Titian Ilmu, Konsep Estetika Sunda pada Kujang, Konsep Perupaan Kujang, merupakan cara atau pendekatan yang benar dan relevan dalam konteks filsafat timur, maupun filsafat seni. Hal ini dikarenakan cara atau pendekatan tersebut berlandaskan kepada tuntunan kehidupan masyarakat Sunda yang merupakan cara mereka berfilsafat, membangun pengetahuan berikut kekuatan penjelasannya (explanatory power), membangun jarak estetik, sekaligus kritis, dengan artefak-artefak warisan budayanya sendiri.
Referensi
- Kuntjoro, Slamet. (2000). "Kujang, Tinjauan Eksoteri dan Isoteri" Jakarta: Malajalah Pamor.
- Kurniawan, Aris. 2011. "Kajian Filosofis dan Simbolik Kujang," Tesis, Program Pascasarjana Seni Rupa ITB
- Setiawan, Budi. 2009. "Guaran Kujang: Diskusi dan Presentasi Kujang," Seminar di Common Room Bandung, 20 November 2009.
- Atmadja, D.K 2003-2009: Ilmu Palintangan Sunda Buhun (Sunda Lama) berdasarkan disiplin Aksara Sansakerta atau Ha Na Ca Ra Ka (cacarakan) berdasarkan kitab Sastra Jendra Hayuningrat, Pola Tiga Sunda (Kosmologi Sunda), Pancaniti atau Lima Titian Ilmu, Konsep Estetika Sunda Pada Kujang, Konsep Perupaan Kujang. Makalah tidak dipublikasikan
- Sumardjo, J. 2006. "Pendekatan Budaya Atas Seni Rupa Tradisi Budaya Etnik Indonesia dalam MetodologiPenelitian Seni," Ira Adriati (ed.), MetodologiPenelitian Seni, Departemen Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB.
- Suryadi. 2008. "Kujang Sebagai Pusaka Tradisi Sunda Tinjauan Estetika dan Simbolik," Tesis, Program Pascasarjana SeniRupa ITB
- Raffles, Thomas Stamford. 2008. "The History of Java" Yogyakarta: Narasi.
- Djati Sunda, Anis. 2009. "Pantun Bogor," www.bogor.net, diakses pada 21 Juni 2009
- Luxamore. 2001. "Kujang, The Talismanic Sickle," http://www.indotalisman.com/Kujang.html, diakses 10 Februari 2011
- http://www.prigsbee.com/maps/indon-java.htm, diakses 21 Juni 2011
- http://www.raremaps.com/gallery/detail/0239gh/Nouvelle_Carte_De_LIsle_De_Java/Schley.html diakses 12 Juni 2011
- Horgronje ,C Snouck. 1904. "Iets Over Koedi en Badi," TBG 47;387- 397. Batavia : Albrecht & Co
- Sukanda-Tessier, Vivian. 1984 Notes on Sabrang, I.E Country on the Other Side of The Sea in Classical Sundanese Literature, SPAFA Consultative Workshop or Research into
- Maritime History & Trade Networks, Indonesia
Demikianlah Artikel Kujang - Kajian Historis dan Filosofis, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Kujang - Kajian Historis dan Filosofis ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Kujang - Kajian Historis dan Filosofis ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.