-->

Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda

Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda !! Semoga tulisan singkat dengan kategori 2018 !! Ajaran Sunda !! Budaya !! Sejarah Sunda !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->



[Historiana] - Kabuyutan di tatar Pasundan merupakan tempat suci bagi ageman Jati Sunda pada zaman lampau. Menunurt Undang A Darsa, di Tatar Pasundan terdapat 800 Kabuyutan. Kabuyutan Agrasela adalah salah satu diantaranya.

Sebagai "tanah suci" dan wilayah paling sakral (dikeramatkan) disebut sebagai "kabuyutan" (wilayah larangan) yang hanya boleh dimasuki oleh orang tertentu saja (orang 'suci'), pun jika terjadi kerusakan secara alami.

Maka dari itu setiap wilayah / tanah suci (Hutan Larangan) disebut sebagai Sa-Saka Domasyang ditandai oleh Arca Domas, dan seluruh kesatuan tanah suci disebut Sa-Loka Domas. Sayangnya pengertian istilah dalam suatu kewilayahan tersebut sudah semakin asing terdengar di telinga generasi sekarang sehingga banyak wilayah larangan rusak dan hancur dengan tidak semestinya.

Ada pun lokasi Kabuyutan Agrasela adalah sebuah lembah bernama Argasela di Sungai Mulutu, di antara Gunung Cupu dengan Gunung Rantay dan sebuah bukit bernama Talagacandana. Gunung Cupu adalah sebuah gunung di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Di Kabuyutan Agrasela terdapat Naskah Kuno "Serat Dewabuda/Serat Dewa Buda" atau "Sewakadarma". Serat Dewa Buda, dari judulnya saja dapat disiratkan betapa isi dari naskah tersebut. Ternyata memang isi naskah Serat Dewabuda merupakan uraian alam metafisika yang penuh dengan metafora hingga sukar untuk diartikan. Para ahli sangat kesulitan untuk memahami isinya, oleh karena itu hanya mereka yang berminat mendalami keagamaan Sunda Kuno saja yang akan menelisik kitab tersebut.

Naskah Serat Dewabuda (SDB) atau dengan nama lain Serat Sewakadarma telah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ayatrohaedi dalam tahun 1988. Naskah tersebut pada waktu itu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta, sebagai salah satu koleksi naskah kuna yang diwariskan oleh J.L.A.Brandes kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menjadi lembaga Museum Nasional, namun naskah tersebut sekarang telah menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta.

Naskah Serat Dewa Buda terdaftar dengan nomor register Kropak 638 atau Br. 638 karena merupakan koleksi Brandes. Naskah ini disebut juga Sewakadarma Jawa Kuno. Dalam khazanah naskah Sunda, ada tiga buah naskah yang bernama Sewakadarma sebagai koleksi Perpusnas, yakni: Sewaka Darma (Kropak atau Br. 408), Serat Sewakadarma (Kropak atau Br. 637), dan Serat Dewabuda (Kropak atau Br. 638) semua koleksi Brandes.

Naskah Serat Dewabuda yang berbahasa Jawa Kuno ini ditulis di atas daun nipah. Naskah ini terdiri atas 129 lempir, halamannya berjumlah 255 karena lempir pertama hanya ditulis satu muka, sedangkan lempir terakhir kosong dan lempir sebelumnya ditulisi satu muka saja. Meski berbahasa Jawa namun naskah ini ditulis di Jawa barat, maka dari itu termasuk dalam khazanah naskah Sunda Kuno.

Dari kolofon pada lempir 129-130 diperoleh gambaran bahwa proses penulisan naskah ini berlangsung selama dua bulan, dimulai dari hari Selasa Kliwon bulan ketujuh, selesai pada hari pasaran Pon bulan kesembilan tarikh 1357 Saka. Meski tak menyebutkan hari selesainya naskah ini, klausa pada lembaran yang berbunyi “menjelang purnama terbenam” dapat ditafsikan bahwa naskah selesai pada tanggal 15 bulan kesembilan. Jadi, menurut perhitungan tarikh Masehi, masa itu jatuh pada bulan Januari-Februari (Kapitu) dan Maret-April (Kasanga) tahun 1435 M. Ada pun lokasi penulisannya adalah sebuah lembah bernama Argasela di Sungai Mulutu, di antara Gunung Cupu dengan Gunung Rantay dan sebuah bukit bernama Talagacandana. Gunung Cupu adalah sebuah gunung di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dengan begitu, naskah ini disusun pada masa Prabu Niskala Wastukancana memerintah di Kawali (1371-1475).

kajian terhadap beberapa naskah Sunda Kuno yang disebut-sebut sebagai kitab keagamaan ternyata menghasilkan temuan yang menarik. Berdasarkan telaah yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa religi yang berkembang dalam masa Kerajaan Sunda, bukan agama Hindu atau Buddha dan juga bukan perpaduan Hindu-Buddha, melainkan suatu bentuk religi tersendiri yang mengagungkan Sanghyang tertinggi dengan berbagai julukannya. Akibat dari temuan kajian ini agaknya akan membuka peluang lebih lanjut dalam hal penelisikan masyarakat Sunda Kuno di bidang sejarah politik dan sejarah kebudayaannya, sebab telah menjadi aksioma bahwa religi adalah dasar utama dari perkembangan kebudayaan masyarakat tertentu dalam era tertentu.


Referensi

  1. Ayatrohaedi, 1988. "Serat Dewabuda: Alihaksara dan Terjemahan". Laporan Penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung.
  2. Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa, 1987. Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Depdikbud.
  3. Darsa, Undang A. & Edi S.Ekadjati, 2003. “Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Prahyangan (Kropak 406)”, dalam Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda Kuno dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Sundalana 1. Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman173--208.
  4. Hadiwijono, Harun, 1982. "Agama Hindu dan Buddha". Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
  5. Noorduyn, J., 1982, ”Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical data from an old Sundanese source”, dalam Bijdragen tot de taal, land,-en volkenkunde. Deel 138 4e Aflevering. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Halaman 413—442.
  6. Noorduyn, J & A.Teeuw, 2006, Three Old Sundanese poems. Leiden: KITLV Press.
  7. Noorduyn, J & A.Teeuw, 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.

Demikianlah Artikel Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Kabuyutan Agrasela Tasikmalaya: Tempat Menulis Kitab Serat Dewabuda #2 | Menelusuri 800 Kabuyutan Sunda ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close