Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana
Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
2018 !!
Sejarah !!
Sejarah Sunda !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
Dyah Pitaloka Labuh Geni di Perang Bubat. Ilustrasi di atas Lontar Karya AH Purnama Alam Wangsa Ungkara |
Kidung Sunda adalah karya sastra buatan Jawa Tengah berbentuk puisi (kidung). Isinya menceritakan lamaran Hayam Wuruk kepada puteri Raja Sunda-Pajajaran (Sri Baduga Maharaja), bernama Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk mengirim utusan bernama Madhu yang berlayar selama 6 hari. Surat lamaran itu diterima oleh Raja Sunda dengan senang hati, meski sang puteri menerimanya biasa-biasa saja. Kemudian Raja Sunda beserta puteri dan keluarga berangkat menuju Majapahit bersama rombongan, dipimpin oleh Patih Anepaken. Sampai di Desa Bubat, mereka beristirahat; akuwu Bubat melaporkan kedatangan tamu itu ke istana. Namun, Gajah Mada tak senang bila rajanya menyambut rombongan Sunda, ia ingin agar Raja Sundalah yang menghampiri Hayam Wuruk. Mendengar keputusan Gajah Mada tersebut, Patih Anekapen marah karena Kerajaan Sunda dilecehkan Majapahit.
Terjadilah peperangan di Desa Bubat pada tahun 1357 M. Bersama 300 tentaranya, Patih Anekapen berjuang mati-matian melawan tentara Majapahit yang jumlahnya lebih besar. Semua rombongan, termasuk Raja dan Puteri Sunda, tewas, kecuali seorang menteri Sunda bernama Pitar. Ia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Majapahit memberitahukan tragedi Bubat. Hayam Wuruk sangat terpukul jiwanya.
Perang Bubat benar-benar terjadi, Meskipun demikian, banyak para sejarawan yang menganggap bahwa perang bubat tidak pernah terjadi. Tudingan ditujukan kepada Pemerintah Kaolonialis Belanda yang menyusun kisah perang Bubat sebagai upaya politik "devide et imprea".
Seorang Arkeolog dari Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, dalam buku berjudul Gajah Mada: Biografi Politik menganggap bahwa Perang Bubat merupakan peristiwa historis dengan berbagai sumber sejarah yang meliputi bukti arkeologis, floklor lisan sampai kronik sejarah. Agus Aris Munandar dengan tegas mempercayai peristiwa Perang Bubat yang pemaparannya ia uraiakan dalam BAB 8 – Pasundan-Bubat: Gadha Penghancur Kejayaan.
“Jika kisah Ken Arok yang penuh mistis malah dipercayai, sedangkan Pasundan-Bubat tidak dipercayai, maka ini tentu sangat mengherankan”, tulis Agus Aris Munandar.
Masyarakat Sunda tak bisa menghapus ingatan akan Peristiwa Bubat, tak ada karya sastra Sunda yang merekam peristiwa tragis itu. Baru pada abad ke-16 muncul Carita Parahiyangan, salah satu naskah Sunda kuna yang unicum. Teks ini pun hanya memberi sepenggal informasi.
“Bisa dipahami kenapa Carita Parahiyangan tidak menyebutkan secara rinci tragedi di Bubat. Bagi masyarakat Sunda Kuna perang Bubat pastinya merupakan peristiwa yang menyedihkan,” ujar Agus Aris Munandar. Dalam teks, putri Sunda disebut sebagai Tohaan atau yang dihormati.
Lalu, pada abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda (1927) yang mengurai Peristiwa Bubat dan versi yang lebih pendek Kidung Sundayana (1928). Dalam Penulisan Sejarah Jawa, Berg menyebut Kidung Sunda mengandung fakta-fakta sejarah karena kejadian itu diperkuat tulisan Sunda kuna, Cerita Parahyangan. Berg pun menyimpulkan, “dalam Kidung Sunda kita harus melihat endapan sastra dari cerita-cerita rakyat yang turun-temurun dan dalam fragmen Pararaton yang bertema sama itu...”
Apakah peristiwa Perang Bubat ini benar terjadi masih diperdebatkan oleh para arkeolog dan ahli sejarah kuno. Para ahli sejarah kuno dan arkeolog yang meragukan peristiwa Pasundan-Bubat berpendapat bahwa itu hanya sekedar sisipan dari penyalinan Pararaton, atau malah tambahan peneliti Belanda pertama yang menerjemahkan Pararaton serta berbagai alasan lainnya.
Bagi para ahli sejarah kuno dan arkeolog yang meragukan peristiwa Bubat perlu dipertanyakan apakah mereka benar sudah menelusuri sumber sejarah selain dari Pararaton?, lalu apa bukti otentik jika kisah Perang Bubat tidak pernah terjadi?. Jika peristiwa Perang Bubat hanya sekedar sisipan penyalinan Pararaton mengapa kisahnya masih tertambat dalam memori kolektif masyarakat hingga kini?.
Ada alasan yang membuat saya meyanikini bahwa perang bubat benar-benar terjadi.
Kisah Perang Bubat Dalam Kidung Sundayana
Terdapat dua puluh pupuh dalam Kidung Sundayana yaitu, Dangdanggula, Kinanti, Asmarandana, Sinom, Magatru, Kinanti II, Pangkur, Sinom II, Dandgdanggula II, Kinanti II, Pangkur II, Durma, Pangkur III, Wirangrong, Maskumambang, Asmarandana II, Pucung, Mijil, Sinom III dan Dangdanggula III.Berikut penjabaran kisah perang Bubat berdasarkan setiap pupuh dalam Kidung Sundayana seperti dalam buku Kidung Sunda (1980) yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (P&K) Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah:
Dangdanggula
Dalam pupuh ini diceritakan latar belakang cerita bagaimana Raja Majapahit kala itu Hayam Wuruk belum memiliki pendamping. Digambarkan keagungannya begitu hebat. Hingga terdengar suatu kabar angin bahwa Maharaja Sunda memiliki seorang putri yang teramat cantik. Sehingga Hayam Wuruk mengutus pelukis Majapahit (Arya Prabangkara) untuk berangkat ke tanah Sunda. Seperti yang dituliskan pada bait 1-13. Kisah berlanjut pada kedatangan Prabu Daha ayah dari Hayam Wuruk menjenguk putranya (bait 14).Kinanti
Dalam pupuh ini diceritakan bagaimana Hayam Wuruk dan Prabu Daha resah menunggu utusan yang berlayar ke Tanah Sunda seperti di tuliskan dalam Kinanti bait 19-22. Hingga akhirnya Arya Prabangkara datang dan memperlihatkan lukisan putri Sunda (bait 28-29). Hayam Wuruk langsung jatuh hati kepada putri Sunda seperti di jelaskan dalam bait 33-36.Asmarandana
Asmarandana menceritakan Hayam Wuruk yag mengutus Patih Madu untuk berangkat ke kerajaan Sunda untuk menyampaikan lamaran seperti dituliskan dalam bait 6-7. Setelah sampai di kerajaan Sunda Patih Madu di sambut Anepaken Patih (bait 10). Keesokan harinya Anepaken Patih membawa Patih Madu menghadap Maharaja Sunda (bait 13). Disampaikanlah maksud kedatangannya untuk mewakili Hayam Wuruk melamar putri Sunda, setelah menerima sesembahan dari Patih Madu Maharaja Sunda membubarkan pertemuan. Maharaja Sunda beserta permaisuri segera mengunujungi kediaman putri menyampaikan kabar bahagia dan memberikan pengertian pada putri (bait 37-45).Sinom
Dalam pupuh ini Maharaja Sunda memberi pengertian pada putri bagaimana beruntungnya mendapatkan lamaran dari Majapahit (bait 1-7). Setelah mendengar petuah Maharaja Sunda dan Permaisuri putri menerima lamaran sebagai tanda bakti pada kedua orang tuanya (8-13). Keesokannya Patih Madu di suruh menghadap untuk dipersilahkan pulang membawa kabar bahwa lamaran diterima, Maharaja Sunda sendiri yang akan mengantarkan putri ke Majapahit (bait 21-23). Maharaja Sunda menyiapkan semua barang bawaan khas tanah Sunda untuk dibawa serta ke Majapahit sekiranya 200 kapal siap mengawal Sri Baginda (bait 28). Ketika hendak berangkat Maharaja Sunda melihat pertanda buruk, tetapi mengingat kebahagiaan yang akan diterima putrinya Maharaja Sunda tetap bertolak ke Majapahit (bait 30-35). Dilain waktu Patih Madu sudah sampai di Majapahit menghadap (bait 42).Magatru
Bersembah Patih Madu melaporkan jawaban Maharaja Sunda, senang Hayam Wuruk mendengarnya. Sejak saat itu Majapahit disibukkan dengan persiapan pesta. Rakyat maupun Ningrat ikut serta. Beragam sesembahan datang dari penjuru negri sebagai ucapan turut berbahagia (bait 4-18). Sementara itu rombongan Sunda berlayar dengan suka ria, terhitung 10 malam diperjalanan (bait 19) tibalah iringan rombongan Sunda. Berbondong-bondong menepi di wilayah Bubat. Orang Bubat gempar melihat ratusan perahu menepi, Lurah Bubat segera pergi menuju keraton melapor pada Hayam Wuruk (bait 24-25).Kinanti II
Lurah Bubat menyampaikan apa yang dilihatnya di Bubat. Penuh sesak Bubat oleh kapal yang hendak menepi. Mendirikan tenda sebagai tempat pesanggrahan. Senang Prabu Daha mendengar kabar besannya sudah sampai, saking senangnya langsung diperintahkan untuk dijemput (bait 12-13). Tetapi kala itu tersebutlah seorang Mahapatih Majapahit bernama Gajah Mada yang kurang setuju jika tamu segera dijemput, dianggap merendahkan martabat Majapahit, berlawanan dengan tata negara, berbicara panjang lebar dihadapan Hayam Wuruk (bait 20-31). Hayam Wuruk yang menghormati Gajah Mada termakan omongan Gajah Mada sehingga tamu tidak segera dijemput (bait 38-39).Pangkur
Sejak saat itu Hayam Wuruk melarang bawahannya untuk mengantarkan apapun pada tamu.Heran para bawahan, tetapi tidak berani menentang (bait 1-3).Sementara itu dipesanggrahan Bubat Maharaja Sunda menanti sambutan dari Majaphit. Tetapi setelah lama menunggu masih saja tidak ada kabar. Maharaja Sunda mendapat kabar bahwa maksud baik terhalang Gajah Mada. Maka Maharaja Sunda mengutus Anepaken Patih, Demang Caho, Patih Pitar dan Anepaken Patih merasa tersinggung dan terjadi adu mulut antara Gajah Mada dan Anepaken Patih (bait 21-37). Gajah Mada mengancam akan menggempur seisi Bubat jika rombongan Sunda tidak menyetujui syarat yang di berikan (bait 38-41).Sinom II
Pendita Asmaranatha melihat situasi yang semakin panas mencoba menengahi, meredakan amarah Gajah Mada dan Anepaken Patih (bait 1-5). Reda sejenak pertengkaran, tetapi hanya sebentar. Hingga akhirnya Pendita Asmaranatha memberi saran agar utusan Sunda sebaiknya kembali ke Bubat, jika memang Hayam Wuruk memang berniat baik tunggulah kabar sekiranya 2 hari. Para utusan setuju dengan usulan Pendita Asmaranatha, pulanglah utusan kembali ke Bubat (bait 17- 19).
Dandgdanggula II
Sesampainya di Bubat Anepaken Patih segera menghadap Maharaja Sunda, bersimpuh para mantri dan ponggawa, prajurit duduk menyebar di bawah beringin. Disampaikan apa yang dialaminya di perjalanan tidak luput sedikitpun. Ratu Sunda diam bungkam, mukanya memerah menahan amarah (bait 1-6). Ratu Sunda tidak sudi membaktika nyi putri, berniat akan melawan mempertahankan harga diri, mempersilahkan yang ingin pulang dan menyambut yang akan berperang disisinya (bait 9-17). Kala itu permaisuri dan putri sedang duduk di bangku indah, Maharaja Sunda menyuruh putri dan permaisuri untuk ikut rombongan yang pulang (bait 24). Putri menolak untuk pulang, ia ingin tetap disamping ayahandanya. Bertekad melakukan labuh geni jika Ratu gugur di medan jurit (bait 30-31).Kinanti II
Prajurit Sunda sudah berkumpul tinggi rendah menghadap Raja. Maharaja Sunda kemudian memberi nasihat dan semamangat pada yang akan berperang. Dibagikan semua hadiah yang tadinya akan diberikan pada Majapahit kepada bawahan. Sudah bulat tekad orang Sunda buang nyawa di medan jurit (bait1-14). Sibuk semua tumenggung mengurusi peralatan perang, bersiap menanti musuh datang. Sementara itu di Majapahit, Mahapatih Gajah Mada memerintahkan anak buahnya menabuh canang agung Basantaka. Tanda semua prajurit bersiap untuk berperang (bait 17). Sebelum maju perang Gajah Mada meminta izin nengutus utusan menanyakan jawaban Maharaja Sunda (bait 60-61).
Pangkur II
Sementara itu sejak Mahraja Sunda membagikan hadiah, di Bubat tidak henti-hentinya pesta digelar. Tinggi rendah semua bersuka ria sebelum nanti buang nyawa di medan perang (bait 1-3). Suatu hari tiba utusan Majapahit segera menghadap Raja tanpa permisi, menanyakan jawaban. Maharaja Sunda dengan tegas memilih berperang daripada membaktikan nyi putri. Pulanglah utusan melaporkan jawaban Maharaja Sunda. Keesokan harinya, pasukan Majapahit berangkat menggempur Bubat (bait 22).Durma
Kedua pasukan bertatap muka, tidak satupun gentar. Banyak orang Sunda di kapal menyalakan meriap. Pecah peperangan di Bubat. Prajurit Sunda berperang gagah berani. Ramai gemuruh suara prajurit memenuhi Bubat (bait 1-5). Amat banyak orang Sunda yang gugur yang hidup kian berani, mengapuk bagai banteng terluka (bait 7). Prajurit Majapahit tunggang langgang, menyadari ini Gajah Mada berteriak lantang memacu semangat prajurit untuk maju. Patih melawan Patih, prajurit melawan prajurit. Pertarungan semakin ramai. Sedikit demi sedikit prajurit Sunda mulai kerepotan menghadapi jumlah pasukan Majapahit yang banyak. Anepaken Patih bertanding dengan Gajah Mada (bait 63- 73). Anepaken bertarung hebat hingga akhirnya gugur di medan perang (bait 74-76).Pangkur III
Maharaja Sunda mendengar kabar bahwa Anepaken Patih dan panglima perang lainnya berguguran satu per satu merasa sedih (bait 1-2). Setelah merenung segera Maharaja Sunda memimpin pasukan terakhir tanah Sunda maju ke medan perang. Ratu Sunda mengamuk melawan Hayam Wuruk dan Prabu Daha (bait 14-24). Pertarungan berlangsung seru, hingga akhirnya Maharaja Sunda lengah dan terkena tombak Hayam Wuruk, tepat di dadanya (bait 25). Gugur Ratu Sunda seisi Bubat menjadi gelap. Prajurit Sunda menjadi patah semangat ditinggal Rajanya. Tersebutlah seorang pengecut, Patih Pitar patih nyi putri Sunda takut mati berniat membaktikan putri. Menghadaplah Patih Pitar kehadapan Hayam Wuruk (bait 29-34).
Wirangrong
Hayam Wuruk tertunduk memikirkan kesalahan yang dibuatnya, merasa sedih karena banyak yang gugur (bait 1-4). Segera Hayam Wuruk memerintahkan bawahannya untuk segera mengurus jenazah yang tewas dengan layak sesuai dengan adat. Seorang prajurit Sunda yang selamat, Panji Melong melaporkan kematian Raja pada permaisuri. Permaisuri dan putri menjadi begitu sedih (bait 8). Segera putri Sunda menyucikan diri, permaisuri mensehati putri agar tidak ikut ke medan perang mencari jasad ayahnya karena takut niat labuh geni putri dihalang-halangi Hayam Wuruk. Setelah mendengar itu, putri segera berpamitan pada ibundanya, menusukan keris ke dadanya, maka tewaslah putri menyusul ayahandanya (bait 16-24). Para wanita yang melihat histeris banyak yang jatuh lunglai. Tak lama para wanita yang hendak membela suaminya segera mensucikan diri, menggunakan baju putih.Maskumambang
Berbondong para istri menuju medan perang beriring putih bagai bunga ilalang. Prajurit Majapahit yang melihatnya merasa iba, menitikan air mata (bait 1-10). Datang kehadapan permaisuri Patih Pitar meminta ampunan karena tidak berani mempertaruhkan nyawa. Permaisuri hanya tersenyum dan meminta Patih menunjukan jenazah Raja (bait 22). Jenazah Raja disandarkan di bawah pohon beringin, sudah di bersihkan, tampak Raja seperti tertidur.Asmarandana II
Setelah bersujud di depan jenazah suaminya segera permaisuri menyucikan diri dan menancapkan keris ke dadanya, tewas dipangkuan suaminya. Hal ini diikuti oleh wanita Sunda lainnya. Setelah itu Patih Pitar segera mengurusi jenazah yang gugur (bait 1-9). Yang masih hidup segera diberikan sebagai persembahan pada Hayam Wuruk. Hayam Wuruk yang tidak melihat sosok putri segera pergi ke pesanggrahan putri. Tetapi ada yang janggal semua dayang sedang menangis, maka bertanyalah Hayam Wuruk pada seorang dayang dimana putri. Ditunjukkan bahwa putri ada di pendopo. Alangkah terkejut Hayam Wuruk melihat putri sudah tidak bernyawa (bait 12-19). Jenazah Maharaja Sunda dan permaisuri segera di urus, dikawal langsung oleh Prabu Daha dan Hayam Wuruk Prabu Daha pamit pulang kepada Hayam Wuruk.Pucung
Sekembalinya Hayam Wuruk ke keraton, tidak seperti biasanya. Terlihat muram dan mengurung diri. Menolak untuk makan ataupun minum. Hingga kondisinya terus menurun hingga ajal menjemput. Ratu Majapahit Hayam Wuruk tutup usia. Gempar seisi Majapahit (bait 1-8).Mijil
Beriring orang yang mengawal jenazah Hayam Wuruk, berderet wanita yang hendak membela. Megah pemakaman sang Ratu (bait 1-18). Keraton menjadi sepi, suatu ketika datang Prabu Daha dan Prabu Tua mengusut sebab kematian Hayam Wuruk (bait 21-23).Sinom III
Pendita Asmaranatha menjelaskan bahwa sebab Hayam Wuruk menjadi sedih adalah karena gagal bersanding dengan putri Sunda. Semua karena Gajah Mada lebih mementingkan politik ketimbang kebahagiaan yang dirasakan Hayam Wuruk (bait 1-6). Marah Prabu Daha, menjatuhkan hukuman mati pada Gajah Mada membenarkan kata-kata Pendita Asmaranatha (bait 9). Dikumpulkan prajurit hendak menyerang kediaman Gajah Mada. Tetapi sebelum sampai Gajah Mada yang sakti titisan Batara Wisnu sudah mengetahui ajal segera tiba. Segera Gajah Mada mensucikan diri, menggenggam tasbihginatria, melafalkan mantra dan menghilang, menghilang kembali bersama raganya di sisi Sang Hyang Widi (bait 16-19). Kecewa karena tidak menemukan Gajah Mada Prabu Daha dan Prabu Tua segera pamit pulang ke negaranya masing-masing (bait 26-27).Pada akhirnya, peristiwa ini tidak perlu disikapi secara emosional. Hari ini, kita sudah bisa berdamai dengan Belanda. Tak kurang kita sampai mati-matian mendukung club sepakbola dari Belanda, padahal Belanda adalah nyata dan jelas sebagai penjajah kita. Mengapa kita tidak berlaku sama memaafkan sejarah masa lalu sebagai cermin dan setiap peristiwa selalu ada hikmahnya.
Anda bisa baca: Rekonsiliasi kultural Jawa-Sunda dalam peristiwa Perang Bubat
Mugia Rahayu Sagung Dumadi
Cag**
Baca juga:
Demikianlah Artikel Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Kisah Perang Bubat dalam Kitab Sundayana ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.