Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara
Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara - Selamat datang di blog Info Mimpi, Info kali ini adalah tentang Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara !! Semoga tulisan singkat dengan kategori
2018 !!
Mandala !!
Sejarah !!
Sejarah Sunda !!
Tarumanagara !! ini bermanfaat bagi anda yang membutuhkan. Dan untuk anda yang baru berkunjung kenal dengan blog sederhana ini, Jangan lupa ikut menyebarluaskan postingan bertema Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara ini ke social media anda, Semoga rezeki berlimpah ikut di permudahkan sang khalik yang maha kuasa, Selengkapnya lansung lihat infonya dibawah -->
Situ Lengkong Panjalu. Foto: pusatwisata.web.id |
Keberadaan Wanakusumah disebut dalam Carita Parahyangan ketika memaparkan kisan Prabu Niskala Wastukancana. Penulis Carita Parahyangan mengisahkan Kehidupan Wastu Kancana, dan bagaimana rakyat mencintainya. Uraian tersebut seolah-olah memuji-muji perilakunya, bahkan dapat dijadikan contoh generasi penerusnya. Tulisan dalam Carita Parahyangan tersebut, sebagai berikut :
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. – Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai. — Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu. — Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh. — Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu. — Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat. — Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna. — Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Pada masa Wastu Kancana ada peristiwa yang cukup penting, yakni peristiwa Perang Paregreg ; masuknya pengaruh islam ke Tatar Sunda yang di bawa oleh Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh, putra Sang Bunisora, dan tibanya Laksmana Ceng Ho di Pelabuhan Cirebon. Didalam rombongan tersebut terdapat Syekh Hasanudian yang kemudian turun di Karawang serta mendirikan Pesatren Quro.
Prabu Niskala Wastu Kancana dicerirtakan didalam Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Penyebutan Gunung Wanakusuma(h) sebagai "peristirahatan terakhir" Prabu Niskala Wastukancana di Nusalarang Gunung Wanakusumah.
Lokasi Nusalarang di Panjalu, Ciamis. Dengan demikian kita dapat menyebutkan lokasi Mandala atau kerajaan Wankusumah berada di Panjalu Ciamis. BEsar kemungkinan, di kemudian hari lebih dikenal sebagai Kerajaan panjalu.
Nusalarang berada di tengah sebuah situ atau telaga bernama Situ Lengkong. Asal-usul Situ Lengkong menurut cerita rakyat yang diwariskan seraca turun temurun dan berdasar Babad Panjalu, sebagaimana tercantum pada laman wikipedia, menyatakan bahwa sebenarnya danau tersebut adalah 'danau buatan' atau hasil usaha manusia. Sejatinya, menurut cerita itu, asalnya tempat tersebut adalah sebuah lembah yang mengelilingi bukit kecil bernama Pasir Jambu (pasir berarti bukit, bs Sunda, red.)
Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
- Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
- Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
- Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
- Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
- Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
- Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
- Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
- Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
- Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah
Masuknya Islam
Penyebaran Islam secara serentak dan menyeluruh di tatar Sunda sesungguhnya dimulai sejak Syarif Hidayatullah (1448-1568) diangkat sebagai penguasa Cirebon oleh Pangeran Cakrabuana bergelar Gusti Susuhunan Jati (Sunan Gunung Jati) dan menyatakan melepaskan diri dari Kemaharajaan Sunda dengan menghentikan pengiriman upeti pada tahun 1479. Peristiwa ini terjadi ketika wilayah Sunda dipimpin oleh Sang Haliwungan Prabu Susuktunggal (1475-1482) di Pakwan Pajajaran dan Ningrat Kancana Prabu Dewa Niskala (1475-1482) di Kawali. Jauh sebelum itu, para pemeluk agama Islam hanya terkonsentrasi di daerah-daerah pesisir atau pelabuhan yang penduduknya banyak melakukan interaksi dengan para saudagar atau pedagang dari Gujarat, Persia dan Timur Tengah.
Puteri Prabu Susuktunggal yang bernama Nay Kentring Manik Mayang Sunda kemudian dinikahkan dengan putera Prabu Dewa Niskala yang bernama Jayadewata. Jayadewata kemudian dinobatkan sebagai penguasa Pakwan Pajajaran dan Kawali bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, dengan demikian maka seperti juga mendiang kakeknya yang bernama Niskala Wastu Kancana ia menyatukan Pakwan Pajajaran (Sunda) dan Kawali (Galuh) dalam satu mahkota Maharaja Sunda.
Sri Baduga Maharaja juga memindahkan ibokota Sunda dari Kawali ke Pakwan Pajajaran, meskipun hal ini bukan kali pertama ibukota Kemaharaajaan Sunda berpindah antara Sunda dan Galuh, namun salah satu alasan perpindahan ibukota negara ini diduga kuat sebagai antisipasi semakin menguatnya kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1481-1521) kerajaan-kerajaan yang masih mengirimkan upetinya ke Pakwan Pajajaran adalah Galunggung, Denuh, Talaga, Geger Bandung, Windu Galuh, Malaka, Mandala, Puma, Lewa dan Kandangwesi (Pleyte, 1911:172). Akan tetapi hal itu tidak bertahan lama karena satu persatu daerah bawahan Sunda itu ditaklukan Cirebon.
Penaklukan oleh Mataram
epeninggal Kemaharajaan Sunda (723-1579), wilayah Jawa Barat terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang pada mulanya merupakan bawahan Sunda. Kerajaan-kerajaan yang masih saling berhubungan darah itu tidak lepas dari pengaruh kekuasaan Cirebon dan Banten yang sedang berada pada puncak kejayaannya. Kerajaan-kerajaan itu merupakan kerajaan yang mandiri dan dipimpin oleh seorang bergelar Prabu, Sanghyang, Rahyang, Hariang, Pangeran ataupun Sunan, akan tapi mereka mengakui kekuasaan Cirebon dan Banten. Dua kerajaan bawahan Sunda yang paling luas wilayahnya adalah Sumedang Larang dan Galuh yang masing-masing dianggap sebagai penerus Kemaharajaan Sunda.
Pada tahun 1595 Sutawijaya atau Panembahan Senopati (1586-1601) memperluas wilayah kekuasaan Mataram ke wilayah Jawa Barat sehingga berhasil menaklukkan Cirebon dan kemudian menduduki daerah-daerah sekitarnya yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Jayakarta (Batavia). Untuk mempererat hubungan Mataram-Cirebon ini, Senopati menikahkan salah seorang saudarinya bernama Ratu Harisbaya dengan pengusasa Cirebon waktu itu, Panembahan Ratu (1570-1649).
Panembahan Senopati digantikan puteranya yaitu Mas Jolang yang naik tahta sebagai Prabu Hanyokrowati (1601-1613), Prabu Hanyokrowati lalu digantikan oleh puteranya yang bernama Mas Rangsang, naik tahta Mataram sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
Pada tahun 1618 Sultan Agung mengangkat putera Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) yang bernama Ujang Ngoko atau Prabu Muda sebagai Bupati Galuh yang menandai penguasaan Mataram atas Galuh, sebagai bupati bawahan Mataram ia kemudian bergelar Adipati Panaekan (1608-1625). Adipati Panaekan juga merangkap jabatan sebagai Wedana Bupati (Gubernur) yang mengepalai Bupati-bupati Priangan (Djadja Sukardja, 1999: 12-6).
Priangan sendiri berasal dari kata parahyangan yang berarti tempat para hyang (dewata), suatu sebutan bagi wilayah bekas Kemaharajaan Sunda yang sebelumnya menganut agama Hindu, selain itu raja-raja Sunda sering memakai gelar hyang atau sanghyang yang artinya dewa.
Peristiwa pendudukan Mataram ini di Panjalu diperkirakan terjadi pada masa pemerintaha Prabu Rahyang Kunang Natabaya karena puteranya yaitu Raden Arya Sumalah tidak lagi memakai gelar Prabu seperti ayahnya, hal ini menunjukkan bahwa Panjalu juga sudah menjadi salah satu kabupaten di bawah Mataram.
Referensi
- Argadipraja, R. Duke. (1992). Babad Panjalu Galur Raja-raja Tatar Sunda. Bandung: Mekar Rahayu.
- Ayatrohaedi. (2005). Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Ekadjati, Edi S. (2005). Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Hidayat, Yayat. Mengenal Warisan Kerajaan Panjalu. Artikel Majalah Misteri Edisi 20 Peb - 04 Mar 2010.
- Iskandar, Yoseph (1997). Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa. Bandung: Geger Sunten.
- Sukardja, H.Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis: H. Djadja Sukardja S.
- Pleyte, Cornelis Marinus. 1911-1913, "Dutch, Book, Illustrated edition: De inlandsche nijverheid in West-Java : als sociaal-ethnologisch verschijnsel / door C. M. Pleyte." Batavia: Javasche boekhandel & drukkerij,
Demikianlah Artikel Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara, Semoga dengan adanya artikel singkat seperti Informasi postingan Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara ini, Anda benar benar sudah menemukan artikel yang sedang anda butuhkan Sekarang. Jangan lupa untuk menyebarluaskan informasi Mandala Wanakusumah atau Kerajaan Wanakusumah (Kerajaan Panjalu?) | Bawahan Tarumanagara ini untuk orang orang terdekat anda, Bagikan infonya melalui fasilitas layanan Share Facebook maupun Twitter yang tersedia di situs ini.